Jumat 22 May 2020 13:37 WIB

Minum Teh di Negara Islam, Apa Istimewanya?

Semua bermula dari liberalisasi perdagangan Kekaisaran Cina.

Rep: Siwi Tri Puji B/ Red: Natalia Endah Hapsari
Minuman Teh (ilustrasi)
Minuman Teh (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,Bila ada jenis minuman yang tak lekang oleh zaman, dia adalah teh. Komoditas ini sudah dikenal berabad-abad sebelum Masehi. Usianya mungkin setua peradaban manusia penghuni planet ini. Bahkan, konsumsi dan produksi teh dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Alasan di balik itu adalah permintaan yang terus meningkat dari banyak negara. Secara alami, hal ini akan menciptakan peluang pendapatan baru di pedesaan dan meningkatkan ketahanan pangan di negara-negara penghasilnya.

Cina masih merupakan produsen utama, menghasilkan sekitar 40 persen teh dunia. Dunia mengonsumsi 2,9 juta ton teh pada 2016, naik dari 1,6 juta ton pada 2002. Konsumsi global teh diperkirakan mencapai 3,3 juta ton pada 2021. Pada 2016-2021 konsumsi teh global akan tumbuh 15 persen, sedikit di atas konsumsi kopi yang diprediksi tumbuh 11,3 persen. Namun pada tahun 2021, konsumsi kopi global (6,2 juta ton) akan hampir dua kali lipat dari teh (3,3 juta ton).

Tidak ada satu pun dari empat besar produsen teh --Cina, India, Kenya, dan Sri Lanka-- masuk dalam daftar 20 negara konsumen tertinggi teh. Dan jangan kaget, negara dengan konsumsi teh per kapita tertinggi bukanlah Inggris, Cina, atau India  tiga negara yang identik dengan teh. 

Negara itu adalah Turki, dengan rata-rata konsumsi lebih dari 3.000 gelas per orang per tahun, alias sembilan gelas sehari per orang.

Maroko berada di tempat kedua, diikuti oleh Irlandia dan Republik Islam Independen Mauritania, baru kemudian Inggris. Dari 30 negara konsumen teratas, 15 berada di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), yang sekarang merupakan seper empat dari peminum teh global. Pusat produksi kantong teh dunia adalah Dubai. Mengapa dunia Islam lekat dengan perdagangan dan konsumsi teh yang notabene berasal dari Timur dan bukan kopi yang justru lebih dekat?

Ada banyak alasan di balik itu. Menurut Peter GW Keen, profesor di Universitas Stanford, semua bermula dari liberalisasi perdagangan Kekaisaran Cina, yaitu membiarkan karavan unta melintasi wilayah mereka untuk berniaga. Jalur ini membentang sejauh 2.500 mil atau setara 4.023 km mulai dari gunung berliku di Yunnan ke Tibet, Nepal, Bhutan, dan melin tasi banyak suku nomaden di Barat Laut. Rute perdagangan diperpanjang hingga Sinai dan Laut Merah.

"Sampai tahun 1940-an, pemandangan kuli-kuli angkut membawa karung seberat 68 kg berisi teh adalah biasa," kata penulis buku Tea Tips: A Guide to Finding and Enjoying Tea ini. Mereka berjalan menggunakan kruk dan berhenti setiap 500 meter untuk beristirahat. Butuh tiga minggu untuk menempuh jarak 250 km di sepanjang jalan terjal, sering setinggi 1.200 meter.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement