Jumat 05 Jun 2020 20:22 WIB

Kematian George Floyd dan Ledakan Protes Rasialisme di AS

Kematian George Floyd menjadi pemicu unjuk rasa karena ada berbagai masalah di AS.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Para pengunjuk rasa berbaris di Jembatan Brooklyn setelah rapat umum di Cadman Plaza Park, Kamis, 4 Juni 2020, di New York. Protes berlanjut setelah kematian George Floyd, yang meninggal setelah ditahan oleh petugas kepolisian Minneapolis pada 25 Mei
Foto: AP/John Minchillo
Para pengunjuk rasa berbaris di Jembatan Brooklyn setelah rapat umum di Cadman Plaza Park, Kamis, 4 Juni 2020, di New York. Protes berlanjut setelah kematian George Floyd, yang meninggal setelah ditahan oleh petugas kepolisian Minneapolis pada 25 Mei

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Unjuk rasa menentang rasialisme struktural yang dipicu kematian laki-laki kulit hitam George Floyd sudah berlangsung selama satu pekan. Polisi Amerika Serikat (AS) pun tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk membungkam aspirasi warga.

Mereka menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk menghadapi pengunjuk rasa. Presiden AS Donald Trump sudah mengancam akan menggunakan militer untuk membubarkan massa. Lalu mengapa kematian George Floyd dapat memicu unjuk rasa besar-besaran di kota-kota besar AS? Ada latar belakang konteks yang dihadapi masyarakat AS sehingga kematian George Floyd mendapat respons besar di AS.

Baca Juga

Dalam pemberitaan BBC terangkum lima konteks kondisi yang terjadi di AS untuk membantu memahami unjuk rasa yang tengah terjadi di Negeri Paman Sam.

1. Kekerasan polisi dan sistem keadilan

Polisi AS cenderung menggunakan kekerasan terhadap warga kulit hitam. Dalam beberapa tahun terakhir banyak warga kulit hitam yang tewas di tangan penegak hukum.

George Floyd, Eric Garner, Philando Castile, Alton Sterling, Delrawn Small, Terence Crutcher, dan Breonna Taylor adalah segelintir warga kulit hitam yang meregang nyawa karena tindakan polisi. Sebagian besar tidak ada petugas polisi yang didakwa atas kematian mereka.

2. Kasus-kasus kekerasan polisi pada warga kulit hitam bukan peristiwa yang terpisah

Pembunuhan George Floyd tidak terjadi begitu saja. Rekaman pembunuhannya tersebar beberapa pekan setelah insiden lain yang memicu perdebatan rasialisme di Amerika.

Pada hari yang sama seorang perempuan kulit putih di Central Park, New York menelepon polisi, hanya karena seorang pria kulit hitam memintanya untuk mengikat anjingnya. Kejadian itu bermula ketika Christian Cooper, seorang pemerhati burung khawatir anjing perempuan itu membahayakan satwa liar. Ia merekam video perempuan tersebut sedang berusaha menelepon polisi dan mengatakan 'ada laki-laki Afrika-Amerika mengancam nyawa saya'.

Sebelumnya ada kasus Ahmaud Arbery, seorang pemuda kulit hitam yang dibunuh dua orang laki-laki kulit putih. Arbery dibunuh saat lari sore di dekat rumahnya. Butuh waktu dua bulan hingga akhirnya para pelaku ditangkap.

3. Ketimpangan sosial-ekonomi dan virus korona

Perpecahan rasial di masyarakat AS juga terjadi di berbagai bidang mulai dari perumahan, layanan kesehatan hingga lapangan pekerjaan. Pada penelitian 2016 menemukan rata-rata keluarga kulit putih 10 kali lipat lebih kaya dari keluarga kulit hitam.

Tingkat warga kulit hitam yang tak memiliki asuransi kesehatan jauh lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan warga kulit putih. Masalah itu diperparah warga kulit hitam lebih terdampak pandami virus corona dibandingkan warga kulit putih.

4. Faktor Donald Trump

Selama masa jabatannya Trump kerap menggunakan retorika yang memecah belah. Ia memulai masa jabatannya dengan unjuk rasa besar-besaran. Pemilihan presiden pada bulan November juga mempengaruhi bagaimana ia menanggapi unjuk rasa.

Ancamannya menggunakan militer memperburuk situasi. Keputusannya untuk menggelar sesi foto di depan gereja sambil memegang Injil pun tidak menghasilkan apa pun.

5. Militerisasi Kepolisian

Unjuk rasa George Floyd menarik perhatian bagaimana polisi memiliki dan menggunakan peralatan militer untuk membubarkan massa. Fenomena menggunakan kendaraan tempur untuk menghadapi unjuk rasa bukan hal baru di AS.

Sejak 1990-an Departemen Pertahanan AS mulai menjalankan program mengirimkan peralatan tempur ke polisi. Awalnya untuk kebutuhan kontra-teroris dan anti-narkoba. Tapi kini digunakan untuk membungkam protes.

Data menunjukkan di bawah program 1033 polisi daerah surplus peralatan militer. Jumlah kepemilikan perlengkapan militer meningkat tajam pada pertengahan 2000-an dan hingga puncaknya setelah 2010. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement