REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) berjanji mempertahankan dukungan kuatnya bagi Israel. Hal itu disampaikan setelah Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dan Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid memutuskan membubarkan parlemen sekaligus membuka jalan bagi negara tersebut menggelar pemilu dini untuk membentuk pemerintahan baru.
Dia menekankan bahwa AS dan Israel adalah mitra strategis. “Ini akan terus menjadi kemitraan strategis antara kedua negara kami dalam beberapa pekan mendatang, dalam beberapa bulan mendatang saat prosesnya berjalan,” ujar Price mengacu pada perkembangan politik di Israel.
Saat ini Israel dipimpin pemerintahan koalisi hasil gabungan delapan partai dengan haluan serta latar belakang yang berbeda-beda. Partai United Arab List juga tergabung di dalamnya. Koalisi itu dipimpin Naftali Bennett selaku ketua partai Yamina dan Yair Lapid, pemimpin partai Yesh Atid.
Pada Senin (20/6) lalu, Bennett dan Lapid sepakat membubarkan parlemen. “Setelah menghabiskan semua upaya untuk menstabilkan koalisi, Perdana Menteri Naftali Bennett dan Yair Lapid telah memutuskan untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU) pembubaran Knesset (parlemen Israel),” kata partai Yamina dan Yesh Atid yang berkoalisi dalam sebuah pernyataan bersama.
Menurut kedua partai tersebut, RUU akan diajukan pekan depan. Jika disetujui, Lapid akan mengemban jabatan perdana menteri untuk sementara. Jika RUU pembubaran parlemen disetujui, Israel akan menggelar pemilu kelima dalam tiga setengah tahun. Pemilu kemungkinan digelar pada Oktober mendatang. Mantan perdana menteri Israel sekaligus pemimpin partai Likud, Benjamin Netanyahu, menyambut kabar tentang “keruntuhan” pemerintahan Bennett. Menurut Netanyahu, itu merupakan berita bagus bagi jutaan warga Israel.
Netanyahu berjanji untuk membentuk pemerintahan berikutnya. "Rekan-rekan saya dan saya akan membentuk pemerintahan nasional yang dipimpin oleh Likud yang akan mengurus semua orang, semua warga Israel tanpa terkecuali," ucapnya.