Kamis 05 May 2016 15:30 WIB

UNHCR Minta Australia Pindahkan Pengungsi dari Pulau Manus dan Nauru

Red:
UNHCR menyatakan kejadian aksi bakar diri pencari suaka di Nauru merupakan gejala hilangnya harapan hidup.
Foto: abc news
UNHCR menyatakan kejadian aksi bakar diri pencari suaka di Nauru merupakan gejala hilangnya harapan hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE --  Badan urusan pengungsi PBB UNHCR meminta agar para pengungsi dan pencari suaka untuk segera dipindahkan dari detensi imigrasi di Pulau Manus dan Nauru. Kedua detensi imigrasi itu dibiayai oleh pemerintah Australia.

Tim UNHCR mengunjungi Detensi Imigrasi di Nauru ketika Omid Masoumali, pencari suaka asal Iran, melakukan aksi membakar diri. Dia sempat diterbangkan ke Brisbane namun nyawanya tak tertolong lagi.

Beberapa hari kemudian, pencari suaka lainnya, seorang perempuan berusia 21 tahun asal Somalia, juga melakukan aksi serupa. Dia kini masih mendapatkan perawatan di Brisbane. "Tidak diragukan lagi kebijakan Australia mengenai pemrosesan pencari suaka di luar Australia dengan cara menampung mereka di detensi, merupakan kebijakan yang berbahaya," demikian dikatakan UNHCR baru-baru ini.

"Sekitar 2 ribu pengungsi dan pencari suaka kini berada di Pulau Manus dan Nauru, dan pengelolaannya tidak dapat dilanjutkan," katanya.

Ditambahkan, perhatian UNHCR saat ini adalah agar mereka segera dipindahkan ke lokasi yang lebih layak dan manusia. Tim UNHCR secara reguler mengunjungi detensi imigrasi ini untuk memantau kondisi pengungsi dan pencari suaka yang ditahan di sana.

Catherine Stubberfield dari kantor UNHCR di Canberra kepada ABC mengatakan kejadian aksi bakar diri menggambarkan terjadinya penurunan kondisi mental setelah tinggal bertahun-tahun di Nauru. "Kejadian  seperti ini sudah bisa diperkirakan akibat penahanan  yang terlalu lama, dan merupakan gejala bahwa mereka sudah mulai kehilangan harapan hidupnya," ujarnya.

Stubberfield mengatakan warga Australia tidak mendapatkan gambaran jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Manus dan Nauru karena adanya blokade akses media yang diberlakukan di sana.

"Tim kami menyaksikan sendiri kondisi fisik yang buruk, sesak, dan tanpa akses ke pelayanan dasar. Mereka tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan," jelasnya.

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement