Menjalani Ramadan jauh dari tanah air merupakan pengalaman berbeda dari sebelumnya.
Biasanya ikut iftar di kampus di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga dan sahurnya dibangunkan oleh anak-anak muda yang menabuh kentongan dan bedug mengelilingi kota. Namun, tahun ini perdana bagi saya menjalani puasa di Australia.
Selain suasananya berbeda, puasa di Australia juga memiliki kekhasan tersendiri.
Terlebih bisa menikmati iftar di kampus Group of Eight (Go8) Australia dan juga iftar bersama komunitas di luar kampus dari Melbourne hingga Sydney.
Siti Nurkhasanah di Sydney dengan latar Opera House
Foto: Rhiza Caesari
Ramadan tahun ini mulai bertepatan setelah perkuliahan semester pertama saya di Monash University usai. Monash termasuk anggota Go8 dimana universitas tersebut merupakan aliansi universitas terkemuka Australia.
Selain Monash, kampus Go8 lainnya ialah The University of Melbourne, Australian National University, The University of Sydney, University of New South Wales, The University of Adelaide, The University of Queensland, dan The University of Western Australia.
Awal menjalani puasa di Melbourne, saya terkesan dengan situasi dimana negeri yang mayoritasnya bukan Muslim ini, saya temukan komunitas Muslim; misalnya di kampus ada Monash University Islamic Society (MUIS).
MUIS mengadakan iftar biasanya setiap hari Kamis dan pesertanya dari berbagai negara seperti Iran, Maroko, Bangladesh, Turki, Libanon, Saudi Arabia, Malaysia, Singapura dan Indonesia.
Buka puasa oleh kelompok Monash University Islamic Society
Foto: MUIS
Sedangkan di luar kampus, saya menikmati iftar bersama awardee (mahasiswa penerima) Beasiswa Pendidikan Indonesia dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang studi di Melbourne.
Iftar LPDP tahun ini berlokasi di gedung GSA The University of Melbourne. Meski mayoritas awardee LPDP adalah Muslim, namun iftar tersebut juga dihadiri oleh non-Muslim.
“Kami mewakili panitia iftar LPDP menyambut teman-teman yang hadir disini. Tujuan utama dari acara ini ialah untuk silaturahim, menyambung kekeluargaan dan memupuk kekompakan sesama putera-puteri bangsa”, ucap Lazuar Azmi Zulferdi dalam sambutan selaku koordinator acara.
Iftar mahasiswa LPDP di Melbourne
Foto: Bayun Bintoro
Disamping iftar di Melbourne, pengalaman Ramadan tahun ini juga saya alami di Sydney. Saat diundang teman untuk menikmati iftar bersama Sydney University Muslim Student Association (SUMSA) dan dihadiri pula mahasiswi non-Muslim dari China dan Jepang.
“Saya terkesan dengan kegiatan Ramadan. Ini pertama kali dalam hidup saya bisa makan bersama dengan orang dari berbagai negara dan berbeda keyakinan dengan saya”, ujar Annie Wu mahasiswi Master jurusan Public Health, salah seorang yang hadir.
Suasana iftar di University of Sydney
Foto: Praditya Kriswibowo
Setelah menikmati iftar di The University of Sydney, saya melanjutkan perjalanan ke Bankstown untuk berkunjung ke Dompet Dhuafa (DD).
DD merupakan lembaga pengelola zakat Indonesia dan membuka cabang di Australia dibawah naungan Center of Islamic Dakwah and Education (CIDE) New South Wales sejak 21 Juli 2011. Program utama yang dikembangkan DD di Sydney berkenaan dengan community service, salah satunya adalah Rumah Tahfidz.
Program ini ditujukan untuk anak-anak Muslim Indonesia yang tinggal di Australia sejak kecil, kebanyakan anak permanent resident. Anak-anak tersebut membutuhkan pendidikan agama seperti belajar membaca Al-Qur'an, hafalan dan Fiqih.
Suasana Rumah Tahfidz Dompet Dhuafa di Bankstown.
Foto: Siti Nurkhasanah
“Jumlah anak-anak Tahfidz yang belajar di DD semakin meningkat mencapai 64 anak. Kini pengurus DD sedang mengadakan fundraising untuk mengembangkan Rumah Tahfidz tersebut agar menjadi Sekolah Tahfidz”, tutur Zainul Arif selaku Country Manager DD.
Perjalanan Ramadan dari Melbourne hingga Sydney ini mengajarkan saya bahwa perbedaan dalam kesamaan itu selalu ada. Misalnya adanya perbedaan agama, negara, budaya, warna kulit, dan jurusan kuliah.
Perbedaan adalah hal yang tak bisa dipungkiri. Namun kesamaan dari sisi kemanusiaan, misalnya saling belajar, toleransi, menghormati dan menghargai menjadi alat pemersatu.
Perbedaan merupakan rahmat dan kesamaan ialah nikmat. Perbedaan itu selalu ada dan kesamaan yang mempersatukannya.
* Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Siti Nurkhasanah adalah Mahasiswi Master of TESOL Monash University.