Senin 12 Dec 2016 16:49 WIB

Hasyim Muzadi di Australia: Gus Dur Tawarkan Identitas Muslim Indonesia

K.H Hasyim Muzadi (kanan) bersama dengan Dr. Nadirsyah Hosen (Monash University) dan Professor Greg Barton (Deakin University).
Foto: ABC
K.H Hasyim Muzadi (kanan) bersama dengan Dr. Nadirsyah Hosen (Monash University) dan Professor Greg Barton (Deakin University).

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Mantan presiden Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal tujuh tahun lalu, dan guna memperingatinya, di Melbourne diselenggarakan kuliah di Monash University untuk mengenang mantan pemimpin NU tersebut. Agus Mutohar menulis laporan dari kuliah tersebut.

Permasalahan bangsa Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini adalah merebaknya terorisme dan munculnya gelombang aksi dan demonstrasi disebabkan karena menguatnya kelompok Islam kanan (fundamentalis) dan kiri (liberalis).

Dalam situasi seperti ini, sebagai Muslim kita perlu mengedepankan kembali jalan tengah dalam beragama dengan mengedepankan identitas ‘Muslim Indonesia’ yang memiliki semangat berbangsa yang dilandasi Pancasila sebagai dasar konstitusi bernegara karena sejatinya tidak ada nilai-nilai Islam yang bertentangan dengan Pancasila.

KH Hasyim Muzadi yang saat ini menjadi salah satu penasehat Presiden Joko Widodo mengungkapkan hal itu, Sabtu (10/12), di sela-sela menjadi pembicara kunci pada acara Gus Dur Memorial Lecture 2016 yang diadakan oleh PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) Australia-New Zealand.

Acara kuliah memorial yang diselenggarakan di kampus Monash University tersebut bekerja sama dengan KJRI Melbourne dan Indonesian Studies Monash University. Selain menghadiri kuliah umum di Monash University. KH Hasyim Muzadi dijadwalkan berpartisipasi sebagai pembicara dalam acara maulid akbar yang diselenggarakan oleh Darul Fatwa Australia, organisasi keagamaan yang bercorak sunni dan mengedepankan pesan-pesan Islam moderat di Australia.

Dalam kesempatan kuliah umum tersebut, Hasyim Muzadi yang merupakan sahabat karib Gus Dur selama 20 tahun, menceritakan lompatan pikiran-pikiran Gus Dur yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak lazim.

“Gus Dur membawakan agama berbeda dengan pada umumnya Kiai NU (Nahdlatul Ulama) yang tradisional. Beliau lebih mementingkan pendekatan yang filosofis, mementingkan makna daripada teks itu sendiri. Yang kedua lebih menekankan etis dimana agama ditemptakan sebagai kesopanan universal. Yang ketiga, beliau membawakan agama secara humanis. Sehingga agama harus terwujud dalam sebuah persaudaraan kemanusiaan yang utuh," ujar Hasyim.

“Pada 1980-an, Gus Dur juga mempunyai pemikiran yang sangat maju yaitu upaya untuk menasionalkan NU dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat. Selain itu, NU harus dipisahkan dari politik praktis yang pada waktu itu masih menjadi bagian dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Ketiga, menegaskan NU sebagai bagian dari civil society yang mengembangkan kekuatan ekonomi, pendidikan, dan budaya,” lanjut Hasyim.

Pemikiran Gus Dur tersebut sempat menimbulkan polemik dikalangan NU sehingga muncul sosok yang sangat penting dalam membantu membumikan pemikiran Gus Dur dalam konteks legal formal yaitu. KH Ahmad Shiddiq. Menurut KH Hasyim Muzadi, sosok KH Ahmad Shiddiq menerjemahkan pemikiran Gus Dur dengan tidak menggunakan referensi negara Islam tetapi menggunakan Piagam Madinah.

Piagam Madinah tersebut tidak berisi bentuk negara tetapi makna dan esensi kehidupan bernegara seperti semangat persaudaraan sesama Islam dan persaudaraan lintas agama sehingga sangat sesuai dengan konidisi masyarakat Indonesia. Dalam piagam Madinah, urusan ketuhanan kembali kepada ranah pribadi, tetapi pada tataran pembangunan sosial harus dilaksanakan bersama-sama tanpa mengenal suku, agama, dan golongan. 

“Pemikiran Gus Dur ini yang harus dibumikan kembali pada situasi sekarang ini. Problematika masyarakat Indonesia sekarang ini jangan diasosiasiakan dengan Islam sebagai problem tetapi masyarakat yang seringkali salah menerjemahkan visi Islam itu sendiri," tukas Hasyim.

Peserta berfoto bersama dengan para pembicara usai diskusi.
Peserta berfoto bersama dengan para pembicara usai diskusi. Foto: Maslihatul Bisriyya

Selain membahas tentang pemikiran Gus Dur, kuliah memorial tersebut juga membahas isu mengenai penguatan muslim: peran kaum muda dan sekolah Islam dalam memerangi terorisme. Hadir sebagai pemateri diskusi, Professor Greg Barton (Deakin University), Dina Afrianty (Australian Catholic University), dan Agus Mutohar (Monash University).

Diskusi tersebut menekankan perlunya penguatan model-model pendidikan yang bisa mencegah tumbuhnya benih-benih terorisme dalam masyarakat.

“Anak-anak muda terkadang memiliki pemikiran-pemikiran radikal karena mereka masih dalam tahapan pencarian identitas. Oleh karena itu, kita memerlukan masyarakat yang konstruktif untuk bisa mengarahkan pemikiran tersebut menjadi positif, tidak mengarah kepada tindakan terorisme." kata Prof Greg Barton, yang banyak dikenal di Australia sebagai pakar mengenai terorisme.

"Yang menjadi tantangan saat ini adalah meningkatnya tindakan-tindakan intoleransi baik di negara-negara timur maupun barat seperti aksi penolakan penggunaan burka yang terjadi di eropa beberapa waktu lalu. Dalam situasi seperti ini, kita harus proaktif seperti dengan menyebarkan ide-ide moderat seperti pemikiran Gus Dur," jelas Greg Barton

*Agus Mutohar, penerima beasiswa LPDP dan kandidat doktor Fakultas Pendidikan Monash University yang juga menjadi pembahas dalam Annual Gus Dur Memorial Lecture 2016. Artikel ini merupakan pendapat pribadi.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/berita/hasyim-muzadi-di-australia/8111974
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement