Jumat 22 Sep 2017 18:51 WIB

Korea Utara Mungkin Lakukan Uji Bom Hidrogen di Pasifik

Red:
abc news
abc news

Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong-ho mengatakan pemerintahnya kemungkinan mempertimbangkan melakukan ujicoba bom hidrogen di Samudra Pasifik, di saat Pyongyang dan Washington saling melontarkan ancaman militer. Menlu RI berada di New York untuk berbicara dalam sidang majelis umum PBB besok.

Dia ditanya oleh wartawan mengenai apa yang dimaksudkan pemimpinnya Kim Jong-un ketika menyatakan mempertimbangkan "tindakan balasan tertinggi" sebagai tanggapan atas ancaman Presiden AS Donald Trump yang akan "menghancurkan total" Korea Utara.

"Saya akan membuat orang yang memegang prerogatif komando tertinggi di AS membayar mahal karena pidatonya yang menyerukan penghancuran total DPRK," kata Kim, dalam pernyataan yang dikeluarkan atas namanya sendiri.

Menlu Ri menjelaskan kepada wartawan bahwa dia "tidak tahu tentang tindakan apa yang dapat diambil karena hal itu akan diperintahkan langsung oleh Pemimpin Kim Jong-un". "Menurut pendapat saya, saya kira hal ini mungkin berupa tes bom-H di Pasifik," tambah Menlu Ri.

Menteri Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga hari Jumat mengecam pernyataan dan perilaku Korea Utara yang "sangat tidak dapat diterima". Menurut dia hal itu provokatif terhadap keamanan regional dan internasional.

Sementara Menhan Jepang Itsunori Onodera menilai komentar Menlu Korea Utara sama sekali tidak dapat diterima. Dalam pernyataannya, Kim Jong-un juga menyebut Trump "gila" dan menambahkan bahwa dia akan "membayar mahal" atas ancamannya tersebut.

"Saya sekarang berpikir keras tentang respon apa yang dia harapkan ketika dia membiarkan kata-kata eksentrik seperti itu keluar dari mulutnya," katanya.

"Apa pun yang diharapkan Trump, dia akan menghadapi akibat di luar dugaannya," ujar Kim Jong-un.

Presiden Trump sebelumnya mengumumkan serangkaian sanksi atas Pyongyang, termasuk jaringan kapal barang dan perdagangan, menjelang pertemuan dengan para pemimpin Jepang dan Korea Selatan.

"Hari ini saya mengumumkan perintah eksekutif baru, baru saja ditandatangani, yang secara signifikan memperluas wewenang kami dalam menyasar perusahaan perorangan, lembaga keuangan yang membiayai dan memfasilitasi perdagangan dengan Korea Utara," kata Trump.

Dia tidak menyinggung mitra dagang terbesar Korea Utara, China, namun memuji Bank Sentral negara itu karena memerintahkan bank-bank China berhenti berbisnis dengan Korea Utara.

Menurut Trump, bahan tekstil, perikanan, teknologi informasi, dan manufaktur Korea Utara termasuk di antara yang dapat disasar oleh sanski AS.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bank-bank yang melakukan bisnis di Korea Utara tidak akan diizinkan untuk beroperasi di AS berdasarkan aturan sanksi baru tersebut. Perang pernyataan antara Korea Utara dan AS kian meningkat saat negara di saat Korut semakin mendekati penyempuraan rudal berhulu ledak nuklir yang bisa menyerang Amerika.

Pyongyang sejauh ini menolak tekanan internasional, dan telah melakukan ujicoba nuklir keenam dan terbesar pada 3 September lalu. Korut juga meluncurkan banyak rudal tahun ini, termasuk dua rudal balistik antarbenua dan dua roket lainnya yang melintas di atas wilayaha udara Jepang.

Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat memberlakukan sembilan sanksi terhadap Korea Utara sejak 2006. Sanksi terbaru awal bulan ini dilakukan utnuk membatasi pasokan bahan bakar ke negara tersebut.

Sementara itu di New York, Menteri Luar Negeri Julie Bishop mengatakan Australia akan terus meninjau sanksi otonomnya terhadap Korea Utara.

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan bahwa sanksi diperlukan untuk membawa Pyongyang ke meja perundingan dan memaksanya melucuti senjata nuklirnya. Dia menambahkan bahwa Korsel tidak bermaksud meruntuhkan Korut.

Namun di Jenewa pada hari Kamis, Menlu Ri mengatakan kepada panel hak asasi manusia bahwa sanksi terus-menerus akan membahayakan kelangsungan hidup anak-anak Korea Utara.

ABC/wires

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement