Kamis 07 Jun 2018 11:23 WIB

Keluarga Gus Dur Berbagi Peran Merawat Keberagaman

Ramadhan menjadi bulan tersibuk bagi keluarga almarhum Gus Dur.

Red: Nur Aini
Isteri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid berbincang dengan Putrinya Yenny Wahid saat peringatan Sewindu Haul Gus Dur di Jakarta, Jumat (22/12) malam. Peringatan kedelapan tahun wafatnya Presiden Keempat RI yang akrab disapa Gus Dur itu mengakat tema semua demi bangsa dan negara.
Foto: Prayogu
Isteri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid berbincang dengan Putrinya Yenny Wahid saat peringatan Sewindu Haul Gus Dur di Jakarta, Jumat (22/12) malam. Peringatan kedelapan tahun wafatnya Presiden Keempat RI yang akrab disapa Gus Dur itu mengakat tema semua demi bangsa dan negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak keluarga di Indonesia, Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk lebih sering berkumpul bersama keluarga. Tetapi, tidak demikian halnya bagi keluarga almarhum Abdurahman Wahid (atau yang lebih populer dikenal dengan nama Gus Dur), presiden Indonesia 1999-2001.

Sinta Nuriyah, istri almarhum Gus Dur dan keempat putrinya justru jarang bertemu lantaran memilih mengutamakan tugas merawat keberagaman di bulan suci ini. Setiap tahun, bulan Ramadhan selalu menjadi waktu tersibuk bagi keluarga almarhum Gus Dur.

Terlebih bagi istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, karena di bulan puasa inilah rangkaian kegiatan Sahur Keliling besutannya dimulai. Kegiatan itu mengharuskan mantan ibu negara itu melakukan perjalanan ke puluhan kota di berbagai wilayah di Indonesia untuk bersilaturahmi sahur dan berbuka puasa bersama dengan warga yang tidak mampu.

Kesibukan menggelar kegiatan Sahur Keliling yang dimulai sejak 2000 lalu ini menjadikan Sinta Nuriyah hanya memiliki waktu yang sangat terbatas dengan keluarganya di setiap bulan Ramadan selama 17 tahun terakhir.

“Kami hanya berkumpul di hari pertama Ramadan, kami berbuka puasa bersama sekeluarga di rumah mama. Setelah itu kami tidak pernah berjumpa lagi dengan mama sampai dua hari menjelang syawal, baru mama pulang. Setiap tahun selalu seperti itu," tutur puteri kedua Almarhum Gus Dur, Zannuba Arifah Chafsoh atau yang lebih dikenal dengan Yenny Wahid.

Yenny Wahid menuturkan, Sahur Keliling itu telah menjadi program ikonik ibundanya untuk berbagi dengan kelompok warga yang tidak mampu. Hal itu seperti mereka yang tinggal di kolong jembatan, pemulung, tukang becak, nelayan, pedagang maupun kelompok marjinal dan minoritas lainnya.

“Kenapa sahur? karena kalau buka puasa, semua orang bisa melakukannya. Orang nggak puasa juga bisa ikut buka puasa. Tapi kalau sahur ya hanya orang yang memang mau puasa yang bangun sahur,” katanya.

Sinta Nuriyah juga merancang program Sahur Keliling tidak hanya sebagai acara sosial semata tapi juga kegiatan untuk mendorong keberagaman dan toleransi antarumat dan kelompok. “Yang istimewa dari acara Sahur Keliling itu adalah ibu saya mewajibkan panitia penyelenggaranya harus antaragama. Harus melibatkan orang dari berbagai kelompok, tidak hanya orang Islam saja. Jadi ini bukan sekadar kegiatan sosial, tapi juga jadi ajang dakwah untuk toleransi.”

 

Karena itu, dalam program Sahur Keliling ini, Sinta Nuriyah sering melibatkan kelompok agama minoritas. Bahkan acara tersebut juga kerap dilakukan di gereja atau kelenteng.

Atas kegigihannya mempromosikan keberagaman dan toleransi selama belasan tahun inilah, nama Sinta Nuriyah masuk dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia versi Majalah Time.

Sinta Nuriyah masuk dalam kategori ikon dunia tahun ini. Ia disebut sebagai sosok yang menjadi acuan untuk gerakan toleransi beragama, feminis, kesetaraan gender, perjuangan untuk perempuan, dan kelompok minoritas.

“Pengakuan dari majalah Time ini suatu hal yang super istimewa dan menunjukan bahwa ibu sudah diakui sosok dan kiprahnya oleh dunia. Orang selama ini mungkin hanya melihat beliau sebagai istri Gus Dur dan tinggal meneruskan kerja Gus Dur. Tapi sebenarnya tidak, ini semua murni gagasan, pemikiran, dan kepeduliannya.” kata Yenny Wahid, putri kedua pasangan Gus Dur.

“Kami bangga sekali, karena kami tahu tantangan yang dihadapi ibu sangat berat, bukan hanya secara fisik di mana beliau harus memakai kursi roda dalam berkiprah, tapi ibu juga tidak jarang kerap diganggu oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak suka dengan gagasannya."

"Acara Sahur Kelilingnya sering diprotes dan panitia lokal kerap ditekan kelompok tertentu. Tapi ibu nggak peduli, dia tetap terus  melalukan misinya mempromosikan toleransi lewat Sahur Keliling ini.” kata Yenny Wahid.

Dalam Daftar 100 orang berpengaruh di dunia itu, nama Sinta Nuriyah bersanding dengan sejumlah pemimpin negara seperti Presiden China Xi Jinping, Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in, Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe, hingga selebriti dunia seperti Jennifer Lopez dan Rihanna. 

Anak-anak turut berbagi peran

 

Tugas merawat keberagaman tidak hanya dilakoni Sinta Nuriyah. Selepas wafatnya Gus Dur, keempat puterinya juga memilih meneruskan cita-cita dan gagasan ayahanda mereka dengan berkiprah di bidang masing-masing.

Yenny Wahid menuturkan kakak sulungnya, Allisa Qotrunnada Munawaroh (Alissa Wahid) meneruskan perjuangan Gus Dur. Dia berusaha mempromosikan dan menyatukan visi dan gagasan pemikiran Gus Dur di kalangan masyarakat yang tidak berpolitik melalui organisasi Jaringan Gusdurian Indonesia .

Sementara adiknya, Anita Hayatunnufus, memilih menjadi aktivis anti-korupsi. Sedangkan, si bungsu Inayah Wulandari berjuang melalui bidang seni dan budaya dan belakangan banyak melakukan kritik sosial melalui puisinya.

 

Sementara Yenny Wahid, menjadi satu-satunya putri almarhum Gus Dur yang mengikuti jejak ayahnya terjun ke dunia politik. “Kami memutuskan untuk berbagi peran, karena kami sadar tidak semua dari kami punya atribut yang lengkap seperti Gus Dur."

"Misalnya beliau punya khasanah keilmuan yang luas dan mendalam, beliau juga punya atribut kekuasaan eksekutif dan sekaligus juga darah biru karena lahir dari trah NU langsung."

"Nggak ada yang punya atribut sempurna seperti beliau. Jadi ini harus terus dirawat dan kami tugas ini kami lakukan bersama-sama,” tutur Yenny Wahid.

Apalagi, di tengah meningkatnya penyebaran ujaran kebencian, paham radikalisme maupun sentimen politik identitas, tugas merawat toleransi dan keberagaman tidak pernah menjadi sesignifikan seperti sekarang ini. Saat ini Wahid Foundation yang didirikan oleh Yenny Wahid memfokuskan kegiatan mereka dengan menyasar kampus dan masjid.

“Kampus dan masjid  sekarang menjadi dua wilayah di mana penyebaran narasi radikalisme dan perekrutan berlangsung sangat subur."

Selain itu, mereka melakukan pencegahan penyebaran paham radikal.

"Kami hendak melakukan prevensi, agar jangan sampai anak-anak muda yang tidak bersalah dan sedang semangat belajar agama ini, belajar dengan guru yang salah dan menjadi radikal. “ ungkapnya.

“Wahid Institut berusaha hadir, dan jika mereka membutuhkan kajian mereka bisa datang ke Wahid Institute.” tambahnya lagi.

 

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-06-07/berbagi-peran-merawat-keberagaman-oleh-keluarga-gus-dur/9843942
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement