Selasa 27 Nov 2018 18:33 WIB

Kampus Australia Dituding Keruk Untung dari Mahasiswa Asing

Kualitas universitas di Australia dipertanyakan.

Red: Nur Aini
Mahasiswa internasional di Universitas Canberra (supplied) dam Sedara Peou.  (foto : AustraliaPlus)
Mahasiswa internasional di Universitas Canberra (supplied) dam Sedara Peou. (foto : AustraliaPlus)

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Baru-baru ini di sebuah universitas elit Australia, seorang dosen senior jurusan humaniora bertemu dengan seorang mahasiswa internasional muda yang ditemani oleh seseorang dan tampak gugup. Mahasiswa itu telah mengirim email kepada dosen tersebut sebelumnya tentang rencana perubahan jurusan. Tapi nyatanya ada masalah besar yang mengganjal.

"Ia tak bisa berbicara bahasa Inggris dan tak mengerti apapun yang saya katakan," katanya kepada ABC.

Perempuan yang menemani mahasiswa, yang diasumsikan sang dosen sebagai teman, itu sebenarnya adalah penerjemah yang disewa untuk pertemuan tersebut. Mahasiswa itu telah melewati tahun pertama kuliahnya tanpa kemampuan berbahasa Inggris.

"Yang sangat mengejutkan saya," kata dosen itu.

Universitas dan badan-badan industri bersikeras bahwa tak ada yang salah dalam industri pendidikan internasional Australia yang bernilai 32 miliar dolar AS (atau setara Rp 320 triliun) per tahun. Akan tetapi, investigasi ABC telah menemukan banyak sekali mahasiswa internasional yang terlihat kesulitan untuk berkomunikasi secara efektif dalam bahasa Inggris, berpartisipasi dalam kelas, atau menyelesaikan tugas secara memadai.

Para akademisi, serta pakar ketenagakerjaan dan pendidikan mengatakan kepada ABC bahwa standar bahasa Inggris sering terlalu rendah atau bisa dikesampingkan melalui celah. Para mahasiswa sering ditempatkan dalam situasi kelas yang penuh tekanan yang bisa menimbulkan kecurangan.

Banyak mahasiswa juga sering mendapati diri mereka menyelesaikan gelar, yang berbiaya lebih dari 100 ribu dolar AS (atau setara Rp 1 miliar), yang jarang mengarah pada pekerjaan profesional setelah lulus. Meskipun demikian, mahasiswa internasional terus mencapai angka rekor, dengan angka-angka terbaru menunjukkan bahwa sekarang ada sekitar 753 ribu mahasiswa internasional di Australia dan 380 ribu dari mereka dalam studi tersier.

Universitas Total # Mahasiswa Intl Total Pendapatan Pendapatan Intl
UNSW 59,781 20,204 (34%) $2.119 miliar $708 juta (33%)
Melbourne Uni 50,270 19,903 (39%) $2.578 miliar $756 juta (29%)
Uni of Sydney 60,000 19,000 (32%) $2.345 miliar $752 juta (32%)
RMIT 49,408 22,034 (45%) $1.306 miliar $487 juta (37%)
Monash Uni 62,400 27,800 (45%) $2.401 miliar $810 juta (34%)

Beberapa institusi dengan jumlah mahasiswa internasional terbanyak.

Sumber: NSW and Victorian Auditor Generals, and 2017 University Annual Reports

Mahasiswa Cina berkontribusi 30 persen dari semua pelajar. Hal itu mengarah ke kekhawatiran yang berkembang bahwa sektor ini menjadi terlalu bergantung pada satu negara, sementara menempatkan industri pendidikan Australia pada risiko dampak politik dan ekonomi.

Di beberapa universitas terbesar di Australia, mahasiswa internasional berkontribusi hampir 50 persen dari jumlah siswa. Sementara biaya kuliah mereka berkontribusi dalam jumlah pendapatan yang semakin tak proporsional. Dalam beberapa kasus, lebih dari sepertiga dari total pendapatan, mengurangi biaya mahasiswa domestik dan menyaingi atau bahkan melebihi dana pemerintah.

Tak penuhi standar

Agar bisa belajar di universitas Australia, mahasiswa internasional harus lulus tes bahasa yang diakui industri - setidaknya ada lima, tetapi yang paling umum adalah Sistem Pengujian Bahasa Inggris Internasional (IELTS). Tes IELTS terdiri dari skor 1-9 untuk membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, dengan skor akhir berdasarkan rata-rata empat.

Mayoritas program universitas menerima nilai IELTS antara 6 dan 7. Namun, menurut IELTS, skor dalam rentang ini masih membutuhkan lebih banyak studi sebelum masuk universitas, atau paling-paling hanya "mungkin bisa diterima". Namun, beberapa mahasiswa bahkan tak mendapat nilai setinggi itu sebelum tiba di Australia.

Pemerintah Federal Australia menetapkan skor IELTS minimal 5,5 untuk mendapatkan visa pelajar. Tetapi mereka juga akan membolehkan mahasiswa yang mendapat nilai serendah 4,5, asalkan mereka mendaftar dalam kursus singkat bahasa Inggris sebelum memasuki universitas.

Kursus berbayar -yang disebut Kursus Bahasa Inggris Intensif untuk Siswa Luar Negeri (ELICOS) -ini memberi mahasiswa pelajaran dan penilaian Bahasa Inggris intensif selama 10-20 minggu. Dari sana mereka langsung masuk ke program universitas tanpa harus kembali melakukan tes seperti IELTS .

Universitas Australia mengatakan sekitar 25 persen dari semua mahasiswa internasional memperoleh surat masuk melalui metode ini. Satu penyedia tes IELTS (yang tak mau disebutkan namanya) mengatakan mereka percaya bahwa mahasiswa internasional membutuhkan skor yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh universitas.

"Mereka membutuhkan lebih dari 6 atau bahkan 6,5, dan jika Anda melakukan sesuatu yang sangat menuntut bahasa, seperti hukum, jurnalisme, atau pengajaran, Anda sering membutuhkan skor yang jauh lebih tinggi," kata mereka.

Pada akhir tahun lalu, laporan berkelanjutan dari mahasiswa internasional yang berjuang dengan bahasa Inggris mulai mengkhawatirkan Pemerintah Federal Australia.

"Terlalu banyak mahasiswa yang diabaikan. Beberapa tak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mereka butuhkan untuk berhasil," kata menteri pendidikan Simon Birmingham pada konferensi pendidikan internasional tahun lalu.

Solusinya adalah mengubah peraturan beberapa kursus singkat, namun perubahannya sangat minim dan sebagian besar memperluas peraturan yang ada ke sektor kejuruan. Sedikit hal telah berubah untuk sebagian besar mahasiswa yang menggunakan kursus ELICOS untuk masuk ke universitas, dan itu tidak mempengaruhi standar yang diterapkan pada hampir tiga perempat yang mendaftar langsung ke tingkat yang sulit menggunakan IELTS atau tes yang setara.

Dalam media The Conversation awal tahun ini, Amanda Muller, dosen senior Keperawatan dan Bahasa Inggris di Flinders University, memeringatkan bahwa perubahan Pemerintah Federal Australia telah mengabaikan mereka yang memasuki universitas secara langsung yang dibiarkan "tenggelam atau berenang".

"Kami mendengar banyak tentang mereka yang tenggelam, dan beberapa termotivasi untuk menipu," tulisnya. "Perubahan regulasi tidak berurusan dengan masalah ini."

Sebuah studi 2012 tentang IELTS menemukan bahwa hanya beberapa mahasiswa internasional yang meningkatkan bahasa Inggris mereka ketika belajar di universitas Australia. Sementara kemampuan bahasa Inggris mahasiswa lain benar-benar menjadi lebih buruk semakin lama mereka belajar.

Pakar pendidikan internasional, Michael Fay, mengatakan bahwa bahasa Inggris adalah salah satu kontrol kualitas pertama bagi mahasiswa yang rentan terhadap standar longgar.

"Seringkali orang-orang yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut tak benar-benar memahami masalah bahasa Inggris dengan cukup baik dan menganggap bahwa mahasiswa akan entah bagaimana, melalui osmosis, meningkatkan bahasa Inggris mereka saat mereka menjalani program," ujarnya.

Sementara itu, direktur pelaksana Asosiasi Pendidikan Internasional Australia (IEAA), Phil Honeywell, memeringatkan agar tidak menaikkan nilai tes bahasa Inggris secara sewenang-wenang.

"Kami baru saja meningkatkan tingkat masuk bahasa Inggris dalam jurusan Keperawatan ke tingkat yang tak akan bisa dijangkau banyak orang Australia," katanya kepada ABC.

"Sangat ironis bahwa untuk menjadi insinyur di Australia, Anda hanya perlu lulus dengan IELTS 6,5, tetapi untuk menjadi perawat bahkan sebelum Anda memulai studi, apalagi lulus, Anda harus memiliki IELTS 7."

Dalam sebuah pernyataan kepada ABC, Menteri Pendidikan saat ini, Dan Tehan, mengatakan kemampuan bahasa mahasiswa internasional adalah masalah universitas.

"Universitas bertanggung jawab untuk memastikan mahasiswa yang mereka daftarkan memiliki keterampilan bahasa yang dibutuhkan," katanya.

Namun ia menolak klaim bahwa ada masalah serius dengan standar penerimaan.

"Anda bisa menilai kualitas sektor Australia dengan jumlah mahasiswa internasional yang kami tarik."

Eksploitasi lapangan kerja, masalah kesehatan mental dan rasisme

Mahasiswa perdagangan UNSW, Annie - yang lebih suka tidak memberikan nama belakangnya - adalah seorang mahasiswa domestik Cina kelahiran Australia dan mengatakan ia melihat perbedaan yang mencolok antara pengalaman siswa domestik dan internasional.

"Mahasiswa internasional, terutama dari negara-negara yang tidak berbahasa Inggris, merasa terasing di kelas," katanya kepada ABC.

"Anda akan sering melihat mahasiswa domestik bergaul dengan kelompok ini dan mahasiswa internasional akan bergaul di kelompok lain (karena hambatan bahasa)."

Kekhawatiran tentang kesejahteraan mahasiswa internasional juga melampaui hasil belajar dan kemahiran bahasa Inggris. Para mahasiswa sering terkena stres keuangan, eksploitasi di tempat kerja, masalah kesehatan mental, dan rasisme, kata Bijay Sapkota, presiden Dewan Mahasiswa Internasional.

Menurut Sapkota, ada kurangnya akses terhadap layanan yang cukup besar yang melibatkan dan mendukung mahasiswa internasional.

"Mahasiswa internasional harus melalui proses yang ketat untuk mendapatkan bantuan. Mereka harus melalui bagian kemahasiswaan, kemudian departemen internasional, dan kemudian layanan konseling, dan, [menyelesaikan] semua aplikasi ini sementara mahasiswa yang melalui situasi sulit dengan bahasa Inggris terbatas itu berat." Namun, universitas dan beberapa badan industri bersikeras bahwa kelompok mahasiswa tersebut merupakan minoritas.

Dekan Teknik di UNSW, Mark Hoffman, mengatakan ia yakin klaim pengabaian ini bisa jadi dilebih-lebihkan, dan bahwa di universitasnya kenyataannya berbeda.

"Dengan mahasiswa internasional, semua orang langsung memahami kemampuan bahasanya, tetapi sebagian besar berkaitan dengan budaya dan segala sesuatu seperti hal itu, yang dihadapi setiap orang di negara baru," katanya kepada ABC.

"Kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan bekerja dalam kelompok meningkat secara signifikan seiring perjalanan studi mereka dan kami memberi system dukungan."

"Jika Anda menggali lagi, Anda akan menemukan bahwa mahasiswa internasional dan lokal berbaur dan dari mana [demografis] mereka tak benar-benar membuat perbedaan."

 

Ragukan kualitas universitas Australia

Profesor Associate Fran Martin dari University of Melbourne, yang telah mengajar dan melakukan penelitian ekstensif ke mahasiswa internasional, mengatakan masalah ini semakin jelas selama beberapa waktu.

"Entah bagaimana universitas senang mengambil pendapatan [mahasiswa internasional] itu atau perlu mengambil pendapatan itu, tetapi mereka tak secara proaktif menginvestasikan sejumlah besar uang itu untuk meningkatkan pengalamannya," katanya kepada ABC.

"Ini gila karena bisa sampai titik ini."

Dekan teknik UNSW, profesor Mark Hoffman, mengatakan fakultasnya membuat upaya substansial untuk mendukung mahasiswa. Tetapi juga mengatakan mahasiswa juga perlu memikul beberapa tanggung jawab.

"Kami memang menawarkan banyak program, tetapi kebanyakan bergantung pada kepercayaan diri mahasiswa untuk memilih dan menjalani program-program itu," katanya.

 

Xiaolan Tang adalah mantan mahasiswa internasional yang sekarang bekerja di Cina, merekrut mahasiswa lokal untuk belajar di luar negeri. Ia mengatakan kepada ABC bahwa semakin sulit untuk menawarkan orang dengan gelar Australia.

"Orang-orang mempertanyakan kualitas universitas Australia ketika mahasiswa yang ditolak oleh universitas ternama di negara lain masih bisa dengan mudah diterima oleh universitas Australia yang sama tingkatannya," katanya kepada ABC.

"Mereka berpikir bahwa ambang pintu masuk untuk universitas Australia diatur sangat rendah."

Zhao Chen, 29 tahun, adalah mantan mahasiswa arsitektur di University of Melbourne pada 2014 dan mengatakan kepada ABC bahwa ia menemukan standar penerimaan universitas Australia yang lemah.

"Saya merasa bahwa sangat mudah diterima oleh sekolah Australia terkemuka karena persyaratan masuk mereka sangat rendah," akunya.

"Saya punya perasaan bahwa saya bisa mendapatkan banyak tawaran dengan mudah."

Fran Martin dari University of Melbourne mengatakan, gelar Australia tak lagi memiliki pamor yang pernah mereka miliki di Cina.

"Bahkan 10 tahun yang lalu, itu [gelar Australia] adalah sesuatu yang mungkin membuat Anda menonjol - tetapi sekarang hampir semua orang tampaknya pergi ke luar negeri untuk mendapatkan gelar," katanya.

"Jadi itu bukan lagi faktor yang menonjol untuk pemberi kerja."

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-11-27/universitas-australia-dituding-manfaatkan-mahasiswa-internasion/10556944
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement