Kamis 13 Dec 2018 23:42 WIB

Penjualan Senjata Rahasia Australia ke Timteng Terungkap

Penjualan senjata Australia ke negara Timteng yang terlibat perang Yaman.

Red: Nur Aini
Ilustrasi berbagai jenis senjata api
Foto: X80001/HANDOUT
Ilustrasi berbagai jenis senjata api

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pemerintah Australia telah menyetujui ekspor lusinan pengiriman barang-barang militer ke negara-negara Timur Tengah yang terlibat dalam perang Yaman. Konflik itu lekat dengan tuduhan-tuduhan kejahatan perang dan pembunuhan warga sipil tanpa pandang bulu.

 

Dokumen Departemen Pertahanan internal yang diperoleh di bawah Kebebasan Informasi (FOI) dan dari rapat dengar pendapat Parlemen mengungkap, sejak awal 2016, Canberra telah memberikan setidaknya 37 izin ekspor untuk barang-barang yang berhubungan dengan militer ke Uni Emirat Arab, dan 20 izin ke Arab Saudi. Mereka adalah dua negara yang memimpin koalisi perang melawan pemberontak Houthi di negara termiskin di Timur Tengah, Yaman.

Menurut salah satu lembaga perlindungan anak, perang empat tahun di Yaman telah menewaskan puluhan ribu orang. Embargo udara-dan-laut telah menyebabkan lebih dari 85 ribu anak-anak Yaman di bawah usia lima tahun meninggal karena kelaparan.

Ekspor Australia yang sedang berkembang ke UAE dan Arab Saudi mungkin terkait dengan rencana yang diumumkan oleh mantan Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada bulan Januari untuk meningkatkan penjualan alat pertahanan secara drastis selama dekade berikutnya.

Australia akan menghabiskan 200 juta  dolar AS (atau setara Rp 2 triliun) antara tahun ini hingga 2028 untuk menjadikan Australia sebagai pengekspor senjata terbesar ke-10 di dunia. Saat ini Australia merupakan yang terbesar ke-20.

Strategi itu menyatakan Timur Tengah adalah "pasar prioritas" untuk ekspor pertahanan.

Skala penjualan senjata Australia

Pemerintah Australia telah berusaha untuk menjaga rincian rahasia ekspor, tetapi pengacara New South Wales dan aktivis hak asasi manusia Kellie Tranter telah menghabiskan satu tahun mencoba untuk menjelaskan penjualan itu.

"Saya memiliki anak di bawah lima tahun dan sulit untuk tidak tersentuh oleh foto yang datang dari Yaman. [Dengan] seorang bayi yang masih dikandung, saya merasa terdorong untuk mencari tahu bagaimana jika ada peran negara kami dalam penderitaan itu," kata Tranter.

Ia telah melacak peningkatan ekspor ke Timur Tengah melalui serangkaian permintaan FOI Pertahanan.

Upaya Tranter-lah yang menemukan skala sertifikat ekspor Australia ke UAE dan Saudi. Izin ekspor diperlukan sebelum perusahaan atau Pemerintah bisa mengirimkan barang-barang militer atau barang dengan penggunaan ganda ke luar negeri, meskipun kadang-kadang perusahaan menerima izin ekspor dan pada akhirnya tidak mengekspor barang tersebut.

Tranter mengatakan izin itu bukti Australia sedang mencoba untuk meningkatkan penjualan ke negara-negara yang terlibat dalam perang Yaman.

"Kami benar-benar terlibat dengan para pemain yang berpotensi terlibat dalam kegiatan keji di Yaman," katanya.

"Anda berbicara tentang kejahatan perang, bukti kejahatan perang yang banyak."

Dokumen-dokumen FOI yang banyak disunting itu tidak menunjukkan perusahaan Australia mana yang menerima izin, siapa pelanggan internasional mereka, atau bahkan barang apa yang akan mereka ekspor.

"Bahkan anggota Oposisi yang telah mencoba untuk mengambil informasi ini dari Pemerintah diizinkan untuk mengetahui," kata Tranter.

Pada Agustus tahun ini, PBB merilis laporan yang menuduh koalisi pimpinan Saudi atas serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan udara acak dan penjara rahasia yang dikelola UEA menggunakan penyiksaan dan pembunuhan. Laporan itu juga meminta komunitas internasional untuk menghentikan penjualan senjata ke kubu koalisi.

Mantan anggota Parlemen Australia, Melissa Parke, adalah salah satu penulis laporan tersebut. Ia mengatakan pemerintah yang menjadi anggota PBB harus berhati-hati ketika mempertimbangkan masalah ekspor militer.

"Negara-negara anggota yang membantu para pihak dalam konflik akan ingin memastikan bahwa mereka tidak membantu dan bersekongkol dengan kejahatan perang," kata Parke.

"Dan bahwa mereka tidak melanggar kewajiban yang mungkin mereka miliki di bawah perjanjian seperti perjanjian perdagangan senjata."

Australia menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata internasional, yang mulai berlaku pada 24 Desember 2014.

Kesepakatan senjata diawasi

Ada pertanyaan tentang kesepakatan ekspor perusahaan pertahanan Australia, baru-baru ini, untuk memasok sistem senjata bertenaga tinggi, yang menurut sumber mungkin terikat untuk UEA. Electro Optic Systems (Sistem Optik Elektro), yang lebih dikenal sebagai EOS, adalah perusahaan teknologi pertahanan dan antariksa Australia dengan ambisi untuk menjadi pemimpin dunia dalam sistem senjata jarak jauh generasi berikutnya.

Sistem ini adalah kumpulan sensor, kamera, dan laser yang dipasang di sekitar meriam kecil atau senapan mesin berat. Mereka dibangun di atas tumpukan yang berputar yang dapat ditempelkan di atap truk militer atau dek kapal angkatan laut.

Hal ini memungkinkan seorang prajurit untuk menembak dengan aman di dalam kendaraan dan bisa memperoleh target hingga beberapa kilometer jauhnya sendirian. Pada bulan Januari, EOS mengumumkan kesepakatan senilai 410 juta dolar AS (atau setara Rp 4,1 triliun) untuk memasok sistem persenjataan.

Dua orang mengatakan kepada ABC bahwa pengguna akhir adalah Uni Emirat Arab (UEA)

Pelanggan sistem senjata belum terkonfirmasi

Sistem EOS, yang dikenal sebagai RWS, sudah digunakan oleh militer Australia. Pada bulan Januari, perusahaan mengumumkan telah mencapai kesepakatan untuk mengekspor versi terbarunya, R400S-Mk2, ke pelanggan luar negeri.

Ketika ditanya tentang kesepakatan itu, EOS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka belum bisa "mengonfirmasi atau membantah" bahwa UEA adalah pelanggan luar negeri atau pengguna akhir-nya.

"Pengungkapan identitas pengguna akhir bisa menurunkan dampak teknologi, dan bukan menjadi kepentingan nasional," sebut pernyataan EOS ketika mereka mengumumkan kesepakatan tersebut.

EOS menolak wawancara dengan ABC tetapi mengatakan dalam serangkaian pernyataan bahwa sistem persenjataannya berada "di antara produk yang paling diatur di pasar pertahanan".

Perusahaan itu menyatakan pihaknya "saat ini" tidak memegang lisensi ekspor Pemerintah Australia yang akan memungkinkan mereka untuk mengekspor peralatan militer ke UEA.

"Tak ada alasan untuk percaya bahwa UEA tidak akan memenuhi syarat sebagai penerima lisensi ekspor dari negara manapun, termasuk AS dan Australia", sebut perusahaan itu juga.

EOS mengatakan tidak ada barang mereka yang berada di Yaman dan mereka tidak memainkan peran apa pun - langsung atau tidak langsung - dalam konflik Yaman.

Analis ekonomi pertahanan Australia, Marcus Hellyer, mengatakan kepada ABC, kesepakatan senilai 410 juta dolar (atau setara Rp 4,1 triliun) itu "sangat besar menurut standar Australia".

Hellyer mengatakan nilai dari kesepakatan EOS mewakili lebih dari seperempat dari semua ekspor yang dilisensikan oleh Departemen Pertahanan Australia pada tahun keuangan terakhir.

Dukungan pemerintah

Pemerintah Australia juga telah membantu mendukung kesepakatan itu, disebut-sebut sebagai "perluasan utama kemampuan industri pertahanan" oleh EOS, yang memiliki kapitalisasi pasar sebesar 200 juta dolar (atau setara Rp 2 triliun). Catatan keuangan perusahaan itu sendiri menunjukkan lembaga kredit ekspor Pemerintah, EFIC (Korporasi Keuangan dan Asuransi Ekspor), memberikannya lebih dari 33 juta dolar AS (atau setara Rp 330 miliar) tahun ini dalam obligasi kinerja yang terhubung ke RWS.

Sebagai perbandingan, tahun ini Australia telah menyumbang 23 juta dolar AS (atau setara Rp 230 miliar) dalam bantuan kemanusiaan ke Yaman. Menteri Pertahanan Australia, Christopher Pyne, tampaknya memainkan peran penting dalam mengamankan kesepakatan saat ia masih menjabat Menteri Industri Pertahanan, menurut pernyataan Januari yang dirilis oleh EOS ketika mengumumkan kesepakatan 410 juta dolar AS (atau setara Rp 4,1 triliun).

"Christopher Pyne telah mengunjungi ibu kota negara asing dengan saya untuk memberikan jaminan Australia sebagai mitra dan pemasok pertahanan yang bisa diandalkan bagi para sekutunya," kata pernyataan itu.

"Upaya dan dukungan ini diakui."

Penilaian kesepakatan ekspor pertahanan

Pyne mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Australia mempertimbangkan semua aplikasi ekspor militer berdasarkan kasus per kasus, sesuai dengan ketentuan kontrol ekspor.

"Ketentuan-ketentuan ini mencerminkan kewajiban internasional kami, termasuk Perjanjian Perdagangan Senjata, dan termasuk penilaian terhadap kriteria legislatif dari kewajiban internasional, hak asasi manusia, keamanan nasional, keamanan regional dan kebijakan luar negeri," kata sang Menteri.

"Penilaian ini termasuk pertimbangan apakah ada risiko besar yang bisa digunakan barang-barang ekspor untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional atau hukum hak asasi manusia."

Departemen Pertahanan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Australia tidak terlibat dalam konflik Yaman.

Pernyataan itu mengatakan departemen itu tidak merilis rincian aplikasi ekspor individu atau izin karena pertimbangan komersial-dalam keyakinan. Pemerintah Australia terus membuat pernyataan tentang pentingnya akses kemanusiaan tanpa hambatan ke Yaman.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-14/kesepakatan-senjata-rahasia-australia-dengan-negara-di-konflik/10618388
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement