Selasa 12 May 2015 22:36 WIB

Aktivis Papua Nugini Mengaku Ditahan 6 Jam Karena Demo Presiden Jokowi

Red:
Aktivis berunjukrasa menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo di Bandara Internasional Port Moresby.
Foto: abc news
Aktivis berunjukrasa menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo di Bandara Internasional Port Moresby.

REPUBLIKA.CO.ID, PAPUA NUGINI -- Sejumlah aktivis Papua Nugini yang mendukung kemerdekaan Papua mengaku telah ditahan oleh polisi di Port Moresby tanpa dakwaan karena menggelar unjukrasa pada saat kedatangan Presiden Jokowi ke negara itu. Belakangan mereka mengapresiasi kebijakan terbaru pemerintah Indonesia mengenai Papua.

Mereka menandai kedatangan Presiden Jokowi di Port Moresby dengan memegang spanduk bertuliskan "Indonesia Hentikan Genosida di Papua Barat" dan langsung ditahan oleh polisi setempat segera setelah demonstrasi dimulai.

David Dom Kua, Sekjen Serikat PNG untuk Papua Barat, merupakan satu dari tujuh orang yang diamankan petugas dan ditahan tanpa dakwaan dalam kurun waktu 6 jam.

"Polisi mengatakan kami harus mendapatkan izin dari mereka,” kata Kua baru-baru ini.

"Tapi ini negara demokrasi dan UU kita dan parlemen juga menjamin kebebasan berekspresi,” katanya.

Presiden Jokowi berada mengunjungi Papua Nugini selama dua hari untuk bertemu dengan PM Peter O'Neill.

Polisi mengatakan para pengunjuk rasa mengganggu arus lalu-lintas di luar Bandara Internasional Jacksons di Port Moresby dan tidak memiliki izin untuk menggelar aksi di sana.

Namun Kua mengatakan kelompoknya bersama masyarakat sipil lainnya telah mendapat perintah dari pengadilan "beberapa waktu lalu " yang membolehkan mereka untuk melakukan aksi unjuk rasa.

Dia mengatakan perlakuan terhadap aksi damai yang mereka lakukan tidak konstitusional.

"Mereka tidak mendakwa kami. Mereka hanya menahan dan mengunci kami selama 6 jam," ungkapnya.

Gubernur Propinsi Oro, Gary Juffa, kepada ABC menyatakan tindakan kepolisian Papua Nugini melanggar perintah pengadilan.

"Itu bukan unjuk rasa yang berlangsun rusuh. Tidak ada kerumunan massa. Itu hanya aksi simbolik untuk menyatakan keprihatinan mengenai kekerasan dan aksi brutal yang terjadi di perbatasan Papua Barat.”

Isu kemerdekaan Propinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini merupakan isu sensitif bagi Indonesia.

Tahun lalu pengamat HAM mengatakan ada lebih dari 60 orang aktivis Papua dipenjarakan karena tuduhan pengkhianatan – banyak di antara mereka ditahan karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Awal pekan ini, Presiden Jokowi memberikan pengampunan bagi 5 tahanan politik di Papua dan mencabut larangan peliputan bagi pers asing.

Kua mengatakan sebenarnya para pengunjuk rasa menyambut baik dan mengapresiasi langkah Presiden Jokowi tersebut.

"Kami mengapresiasi beliau dan berterima kasih atas keputusannya membantu membebaskan 5 tahanan politik di Papua, dan mencabut larangan peliputan media di Papua Barat," katanya.

"Kedua hal ini merupakan pengabaian terhadap Papua yang telah berlangsung lama,” kata Kua.

Namun sebaliknya, Gubernur Propinsi Oro, Gary Juffa justru memandang sinis keputusan Presiden Jokowi tersebut yang disebutnya sebagai “politik bermain cerdas'.

"Keputusan itu tidak ada hubungannya dengan kemanusiaan,” katanya.

"Anda harus melakukan hal semacam ini untuk menunjukan kalau Anda benar-benar berbuat sesuatu, padahal pada kenyataannya Anda tidak melakukan apa-apa,” tambah sang gubernur.

Kepolisian Papua Nugini tidak membalas permintaan ABC untuk mengkonfirmasi laporan penangkapan aktivis ini.

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement