Rabu 13 Jun 2018 13:07 WIB

Cina Paling Diuntungkan dari Pertemuan Trump dan Kim Jong-un

Cina dapat memainkan peran strategis setelah sanksi terhadap Korut dicabut.

Red: Nur Aini
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un bersalaman dengan Presiden Cina Xi Jinping saat bertemu di Beijing, Rabu (28/3).
Foto: CCTV via AP Video
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un bersalaman dengan Presiden Cina Xi Jinping saat bertemu di Beijing, Rabu (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Presiden AS Donald Trump menyebut deklarasi yang ditandatangani di akhir pertemuannya dengan Kim Jong-un telah mencakup seluruh isu. Namun sebenarnya hanya berisi empat poin utama, dengan tidak banyak rincian lainnya.

Hal itu dinilai lebih sekadar niat untuk melakukan denuklirisasi, dan komitmen bagi 'perdamaian yang stabil dan langgeng' dengan 'jaminan keamanan' yang tidak spesifik bagi pemimpin Korea Utara. Dalam jumpa pers setelah KTT tersebut, Trump tampak yakin bahwa 'akan tercapai denuklirisasi lengkap dan akan dicek sesegera mungkin'. Perjanjian tersebut diklaim berbeda dengan perjanjian sebelumnya.

Dia menegaskan bahwa 'ini adalah langkah berani ke masa depan baru yang cerah' dan 'hanya orang yang sangat berani yang bisa menciptakan perdamaian." Semangat perdamaian tampak terlihat. Akan tetapi, semuanya masih belum menjawab mengenai kekhawatiran dan memberikan kejelasan mengenai bagaimana denuklirisasi, stabilitas dan perdamaian bisa dicapai di kawasan tersebut. Di tahap awal tersebut tampaknya Cina adalah pemenang dari pertemuan tersebut.

 

Sepanjang tahun lalu, Cina sudah menyerukan adanya 'penghentian dari penerapan sanksi' yang sudah diterapkan ke Korea Utara. Itu adalah salah satu hal kongkret yang sekarang dilakukan oleh Trump. Trump mengatakan latihan militer AS dan Korea Selatan akan dihentikan guna mengimbangi pembekuan uji nuklir dan rudal Korea Utara.

Hal itu adalah petunjuk jelas bahwa permintaan Cina disetujui dan meningkatkan spekulasi bahwa kepentingan strategis Cina bisa semakin meningkat. Dalam pertemuan mendatang, Cina akan mendorong paling tidak perubahan status 28 ribu tentara AS di Korea Selatan menjadi 'penjaga perdamaian'. Trump mengatakan dia berharap pada akhirnya semua tentara itu akan ditarik kembali.

Saat ini akan menjadi kesempatan emas bagi China untuk mengkonsolidasi ambisinya untuk mendominasi di Asia. Kehadiran pasukan Amerika di Korea Selatan adalah bentuk kekuatan terbesar AS di kawasan.

Dengan perubahan itu, Cina akan mendapat manfaatnya. Sekarang ini, Cina dikelilingi oleh empat pangkalan militer AS di Korea Selatan, Jepang, Guam, dan Filipina.

Hubungan Cina dengan Korea Utara, terlepas apa yang terjadi antara AS dan Korea Utara, sudah baik kembali. Oleh karena itu, bagi Trump untuk melakukan 'tekanan maksimum' dengan sanksi akan sulit dilakukan.

Cina melakukan 90 persen perdagangan dengan Korea Utara. Sanksi menjadi efektif tahun lalu setelah Cina membatasi perdagangan batu bara, biji besi, makanan laut dan pergerakan tenaga kerja Korea Utara.

Cina sudah berada di posisi terdepan untuk mengambil keuntungan bila ada perubahan di Korea Utara. Sudah ada tiga zona perdagangan bebas besar yang dimiliki Cina di perbatasan dengan Korea Utara dan proyek infrastruktur besar seperti jembatan baru siap dibangun.

Cina ingin memanfaatkan tenaga kerja Korea Utara yang sekarang ini merupakan yang paling murah di dunia. Mereka juga ingin memperkuat hubungan ekonomi guna mendorong pertumbuhan ekonomi di bagian Timur Laut negeri itu yang berbatas dengan Korea Utara.

Tidak mengejutkan bahwa Kementerian Luar Negeri Cina menyerukan agar sanksi segera dilonggarkan setelah penandatanganan deklarasi bersama di Singapura.

 

Korea Selatan mungkin akan menjadi negara yang paling dirugikan sekaligus paling diuntungkan dengan adanya perjanjian damai dan pelucutan nuklir. Selama 65 tahun, Korea Selatan harus hidup di bawah ancaman dari Korea Utara dan diperkirakan ada 8.000 artileri yang diarahkan langsung ke ibu kota Seoul.

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, yang ayahnya adalah pengungsi asal Korea Utara, menggantungkan harapan kepresideannya untuk membawa perdamaian di semenanjung tersebut. Setelah KTT, Moon mengucapkan selamat kepada Trump dan Kim. Ia menyebut 'ini adalah peristiwa bersejarah yang akan mengakhiri konflik terakhir Perang Dingin dan menorehkan sejarah baru bagi kerjasama dan perdamaian di Semenanjung Korea."

Walau ada optimisme besar di Korea Selatan, banyak juga yang masih trauma dengan gagalnya pembicaraan damai sebelumnya. Apalagi, pembicaraan yang baru berlangsung tidak banyak rincian komitmen yang jelas.

Seperti dikatakan oleh Trump, Korea Selatan harus membayar semua biaya perdamaian dan pembangunan Korea Utara. Biaya miliaran dolar tersebut membuat banyak warga Korea Selatan keberatan.

 

Negara terakhir di kawasan, Jepang menjadi negara yang merasa terpinggirkan dalam keseluruhan proses. Kunjungan mendadak Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ke Washington minggu lalu untuk bertemu Trump adalah usaha untuk memastikan kepentingan Jepang juga didengarkan.

Walau mungkin Kim akan menghentikan rudal ICBM yang bisa mencapai kota-kota di Amerika Serikat bila sanksi ekonomi dilunakkan, namun perlucutan rudal jarak pendek dan menengah yang bisa mencapai Jepang bukan hal yang mudah mau dilakukan oleh Korea Utara. Kim tidak akan begitu saja mau menyerahkan keuntungan strategis regional tersebut.

Kekhawatiran Jepang mengenai nasib warga mereka yang disandera Korea Utara, yang sudah menjadi masalah sensitif, mungkin tidak akan menjadi pembicaraan penting untuk dilakukan.

Jepang, Cina, dan Korea Selatan akan menyambut baik arah baru yang dicapai dari KTT Trump-Kim. Namun kepentingan strategis yang berbeda dari setiap negara akan bisa menjadi faktor penghalang di masa depan, seperti yang pernah terjadi dalam perundingan di masa lalu.

Lihat artikelnya dalam bahasa Ingris di sini

 

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-06-13/china-pemenang-dari-pertemuan-trump-kim/9864132
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement