Jumat 14 Dec 2018 21:12 WIB

Pendewasaan Usia Perkawinan Diharapkan Kurangi Kematian Ibu

Perkawinan anak berdampak cukup besar terhadap masa depan Indonesia.

Red: Nur Aini
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia.
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. Indonesia menjadi negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ke-7 di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) mengabulkan gugatan atas batas usia anak dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan No1 Tahun 1974 pada Kamis (13/12). Keputusan itu disambut baik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), meski batas usia baru yang ditetapkan mulai berlaku ketika DPR telah mengubah UU Perkawinan.

KPAI menyambut baik putusan MK yang mengabulkan gugatan terhadap batas usia perkawinan anak. Tahun lalu, UU Perkawinan digugat kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan warga sipil karena batas minimum usia pernikahan untuk anak perempuan dan laki-laki yang berbeda dan dianggap diskriminatif serta melanggar UU Perlindungan Anak.

Di dalam UU yang berlaku saat ini, perempuan bisa menikah dengan legal di usia 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun. Tetapi gugatan itu baru berlaku jika DPR telah mengubah UU Perkawinan. MK memberi tenggat waktu kepada anggota dewan selama 3 tahun.

"Meminta pembuat UU paling lama 3 tahun untuk melakukan perubahan tentang perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan," sebut Ketua MK, Anwar Usman, saat membacakan putusan di Jakarta, Kamis (13/12).

Data 2015 menunjukkan, sebanyak 23 persen perempuan Indonesia berusia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usianya mencapai 18 tahun. Menurut Komisioner KPAI, Rita Pranawati, perkawinan anak menjadi salah satu masalah yang berdampak cukup besar terhadap sumber daya manusia Indonesia di masa depan.

"Dampak jangka panjangnya adalah karena rendahnya pendidikan, pada usia perkawinan anak bisa berdampak pada putus sekolah yang menyebabkan kemiskinan yang berulang," ujar Rita kepada ABC melalui pesan teks (13/12).

Selain itu, organ reproduksi anak juga belum berfungsi baik sehingga bisa berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan bayi. Rita menjelaskan, perkawinan anak juga berdampak pada kualitas keluarga, sehingga dinilainya, perkawinan anak pasti berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.

Ia yakin DPR akan segera mengubah UU Perkawinan sesuai hasil putusan MK.

Ketika ditanya soal munculnya kelompok agama yang menentang diubahnya batas minimal perkawinan anak, Rita menuturkan perlunya cara lain yang lebih bisa diterima.

"Kami akan advokasi, KPAI akan kawal, seiring dengan perubahan regulasi. Kerja lain perlu dibarengi, mengubah budaya juga perlu," ujarnya kepada ABC.

Sebelumnya, pada 2015, MK sempat menolak mengabulkan batas usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 tahun ke 18 tahun.

ABC telah menghubungi anggota Komisi VIII DPR RI (komisi yang mengurusi masalah perempuan dan anak), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo untuk dimintai komentar.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-14/naiknya-batas-usia-pernikahan-bisa-kurangi-angka-kematian-ibu-b/10618252
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement