Sabtu 16 Mar 2019 14:01 WIB

Teror Christchurch Bisa Picu Serangan Ekstrim Sayap Kanan

Kelompok ekstrim sayap kanan saling terhubung secara daring di seluruh dunia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Indira Rezkisari
Teror Masjid Christchurch. Wanita meletakkan bunga di Christchurch, Sabtu (16/3), sebagai bentuk duka dan simpati bagi aksi teror di dua masjid pada Jumat (15/3).
Foto: AP
Teror Masjid Christchurch. Wanita meletakkan bunga di Christchurch, Sabtu (16/3), sebagai bentuk duka dan simpati bagi aksi teror di dua masjid pada Jumat (15/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Pengamat dari Institute for Strategic Dialogue, Julie Ebner, mengatakan aksi teror di dua masjid, Selandia Baru dapat memicu serangan serupa yang ditiru oleh orang lain. Apalagi, pelaku teror penembakan tersebut telah mengunggah manifesto di media sosial sebelum melakukan aksinya.

"Manifesto dapat dibaca oleh hampir semua orang sebagai ajakan untuk bertindak. Tindakan ini berusaha untuk lebih mempolarisasi juga menciptakan ketakutan dan kemarahan di masyarakat, serta menyulut kekerasan dan perang yang ingin dimunculkan oleh pelaku," ujar Ebner dilansir Sky News, Sabtu (16/3).

Baca Juga

Selandia Baru tidak dikenal sebagai sarang ekstremisme sayap kanan. Namun, kelompok tersebut diduga saling terhubung secara daring di seluruh dunia. Mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Helen Clarke mengatakan, komunitas kelompok ekstrim sayap kanan ada di sekitar masyarat.

"Beberapa dari mereka bekerja sendiri sampai pada titik di mana mereka akan melakukan pembunuhan massal seperti yang dilakukan di Christchurch," ujar Clarke.

Para pengamat mengatakan, pernyataan politikus tertentu yang memecah belah menjadi pemicu bagi kelompok ekstrem kanan. Dua tahun lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) mendapat kecaman atas tanggapannya terhadap supremasi kulit putih di Charlottesville, Virginia. Trump juga dikritik karena pernah menyebut Muslim sebagai ancaman nasional.

"Ada pandangan kuat di luar sana bahwa orang-orang seperti Presiden Trump telah mengobarkan ekstremisme sayap kanan. Terus terang saya khawatir, beberapa orang merasa Presiden Trump memiliki darah (sayap kanan) di tangannya," ujar seorang pemimpin komunitas Muslim, Mohammed Khaleil.

Pelaku teror terhadap dua masjid di Selandia Baru, Brenton Tarrant (28 tahun) mengaku melakukan aksinya secara sendirian. Dia mengatakan, tidak ada seseorang yang menginstruksikannya untuk melakukan aksi penembakan brutal tersebut.

Sebuah manifesto yang diterbitkan Tarrant di media sosial menyuarakan dukungan untuk sejumlah ekstrimis sayap kanan, khususnya Anders Breivik. Breivik merupakan pelaku pembunuhan terhadap 77 orang di Norwgia delapan tahun lalu dan telah dijatuhi hukuman 21 tahun penjara.

Korban meninggal dunia sebagian besar remaja dan peristiwa ini disebut sebagai kekejaman yang terburuk di Norwegia. Breivik disebut memiliki kelompok rahasia yang disebut Knights Templar. Sebelum melakukan aksinya, Tarrant sempat menghubungi kakak Breivik yakni Justiciar Breivik untuk meminta restu.

Dalam manifestonya, Tarrant mendukung Presiden Trump sebagai simbol identitas ekstrimis kulit putih yang baru. Diketahui, dalam dua tahun terakhir, Tarrant telah melakukan perjalanan ke Perancis, Spanyol, dan negara-negara Eropa Barat. Dia juga sempat mengunjung Turki dalam beberapa kesempatan. Pihak berwenang saat ini tengah melacak pergerakan Tarrant untuk mengetahui apakah selama perjalanannya dia telah bertemu dengan sesama ekstrimis sayap kanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement