Rabu 20 Mar 2019 16:28 WIB

Mahkamah Agung AS Menangkan Kebijakan Trump Soal Imigran

Trump ingin menahan imigran yang sedang menunggu deportasi sampai bertahun-tahun.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Anak-anak imigran bermain di luar kantor job Corps yang kini menjadi kediaman mereka, Senin (18/6), di Homestead Florida. Tidak diketahui apakah anak-anak yang melintas perbatasan tidak ditemani dewasa atau dipisahkan dari anggota keluarganya.
Foto: AP
Anak-anak imigran bermain di luar kantor job Corps yang kini menjadi kediaman mereka, Senin (18/6), di Homestead Florida. Tidak diketahui apakah anak-anak yang melintas perbatasan tidak ditemani dewasa atau dipisahkan dari anggota keluarganya.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) memenangkan kebijakan yang mengizinkan Pemerintah AS menahan imigran yang sedang menunggu deportasi sampai bertahun-tahun setelah mereka menjalani hukuman penjara atas kasus pidana. Kemenangan itu membuat Presiden AS Donald Trump dapat menjalankan kebijakan keras terhadap imigran.

Keputusan itu terbagi berdasarkan garis ideologis. Dari sembilan hakim sebanyak lima hakim konservatif memenangkan kebijakan ini sementara empat hakim liberal menentangnya. Hakim liberal Stephen Bayer yang menentang mengatakan, keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan serius tentang proses hukum.

Baca Juga

"Keputusan ini memiliki risiko untuk merampas mereka yang ditahan pemerintah paling lama dan yang paling penting kebebasan yang dijamin konstitusi," kata Bayer, Rabu (20/3).  

Keputusan itu memberikan kewenangan pemerintah federal AS dapat menahan tanpa jaminan kapan saja, tidak hanya ketika mereka keluar dari penjara. Keputusan yang diotoritasi hakim konservatif Samuel Alito itu membuka kemungkinan beberapa imigran menggugat penahanan mereka.

Para imigran dapat menggunakan undang-undang federal tahun 1996 tentang Reformasi Imigran Ilegal dan Undang-undang Tanggung Jawab Terhadap Imigran. Mereka dapat menggugat penahanan yang dilakukan terhadap mereka jika baru menyelesaikan hukuman penjara.

Sebab, hal tersebut melanggar hak menjalani proses hukum yang dilindungi konstitusi AS. Keputusan ini mengizinkan pemerintah menahan imigran 'ketika orang asing itu dibebaskan' dari penjara.

Pengacara hak sipil dalam kasus ini berpendapat, bahasa hukum menunjukkan penahanan dapat dilakukan tepat ketika imigran tersebut dibebaskan. Di sisi lain, pemerintahan Trump berpendapat, pemerintah harus memiliki kewenangan untuk menahan imigran kapan pun.

Dalam keputusan itu, Hakim Samuel Alito menulis, bukan tugas pengadilan untuk menerapkan tenggat waktu penangkapan imigran setelah mereka menjalani hukuman penjara. Alito mencatat, pengadilan sebelumnya mengatakan, "Lebih baik pejabat melakukan tugasnya dengan terlambat daripada tidak sama sekali." Alito mengatakan, sangat sulit bagi penenantang keputusan ini untuk menelan kenyataan bahwa imigran dapat ditahan dalam 24 jam setelah mereka keluar dari penjara.

Hal itu kemenangan terbaru bagi Trump atas kebijakan imigrasinya. Ia berhasil memenangkannya ketika Mahkamah Agung AS diisi hakim-hakim konservatif yang juga memberinya kemenangan atas kebijakan larangan masuk imigran dari negara-negara Islam pada Juni 2018 lalu.

Keputusan penahanan imigran itu mirip dengan keputusan larangan masuk imigran dari negara-negara Islam di mana ada lima hakim konservatif yang memenangkannya dan empat hakim liberal yang menentangnya. Pengacara organisasi hak sipil AS American Civil Liberties Union (ACLU), Cecilia Wang mengatakan Mahkamah Agung telah mendukung interpretasi yang paling ekstrem atas undang-undang imigrasi.

"Memperbolehkan penahanan massal tanpa sidang, hanya karena mereka membela diri mereka atas tuduhan deportasi," kata Wang.

Wang mengatakan, ACLU akan melakukan ligitasi dengan berbagai cara. Trump sudah melakukan berbagai upaya untuk membatasi masuknya imigran legal maupun ilegal sejak naik ke tampuk kekuasaan awal 2017 lalu. Juru bicara Departemen Kehakiman AS Kerri Kupec mengatakan, pejabat-pejabat di departemen tersebut senang mendengar keputusan Mahkamah Agung.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement