Kamis 28 Mar 2019 19:21 WIB

Enam Bulan Setelah Gempa Palu, Krisis Belum Berlalu

Penyintas bencana gempa Palu masih mengalami trauma.

Red: Nur Aini
Pengendara melintas di lahan kosong yang dipersiapkan sebagai lokasi pembangunan hunian tetap bagi korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Kelurahan Tondo, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (4/2/2019).
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Pengendara melintas di lahan kosong yang dipersiapkan sebagai lokasi pembangunan hunian tetap bagi korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Kelurahan Tondo, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (4/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- "Saya ingin tinggal di sana lagi, tapi masih takut," ujar Abdul Azim, seorang penyintas Gempa Palu. Hari ini, tepat enam bulan setelah bencana yang disusul tsunami dan likuifaksi meluluhlantakkan daerah itu 28 September 2018.

"Ada orang yang bahkan belum pernah kembali ke rumah mereka karena masih trauma," katanya.

Baca Juga

Sekitar 4.340 orang tewas, dan lebih dari 200 ribu warga mengungsi ke berbagai kota akibat bencana ini. Ketika perhatian publik telah bergeser ke bencana lainnya, para penyintas bencana di Palu dan sekitarnya sampai kini masih menghadapi krisis.

Bagi sejumlah penyintas yang menggambarkan peristiwa itu sebagai kiamat, luka psikologis dan kehidupan pasca-bencana menjadi tantangan yang paling sulit.

Dua orang keponakan Azim yang berusia 13 dan dua tahun, tinggal bersamanya dan sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Kedua anak itu terkubur bersama rumah mereka yang ditelan likuifaksi.

"Kejadiannya begitu cepat, dalam hitungan detik rumah saya ambruk dan tanah di bawah rumah amblas," katanya.

"Saya tahu dua kedua anakku itu ada di dalam rumah saat itu," tutur Azim yang tampak berusaha tegar.

Begitul dahsyatnya bencana saat itu sehingga seorang penyintas lainnya, Aina, menganggap hal itu sebagai hukuman atas dosanya selama ini.

Aina selamat dari bencana dengan terus perpegangan pada sebatang pohon ketika gempa melanda.

"Saya merasa semua ini akibat dosa saya. Saya ingin memohon pengampunan kepada Tuhan," ujarnya.

Azim dan Aina adalah sebagian penyintas yang kisah pengalamannya dimuat dalam laporan Oxfam yang secara eksklusif dirilis ke ABC di Australia.

Luka psikologis

Penyintas lainnya, Adnan Fadjar, mengisahkan bagaimana dia berusaha meraih putrinya yang berusia dua tahun, sementara putranya yang berusia lima tahun menggenggam erat kakinya, ketika gempa terjadi.

Saat itu dia berusaha melindungi putrinya yang nyaris kejatuhan lemari akibat getaran gempa.

"Gempa meninggalkan luka, yaitu luka psikologis, pada anak-anak saya," ujar Adnan yang kini sudah kembali ke Palu.

Dia masih ingat bau busuk udara dan kelangkaan air minum saat melewati area bencana sembari menutupi mata anak-anaknya dari pemandangan mayat yang bergelimpangan.

"Khususnya bagi anak laki-laki saya, anak kedua, Arlo. Saya kadang memintanya menggambar sesuatu. Dan dia menggambar grafik yang berfluktuasi berupa garis naik dan turun," kata Adnan ketika dihubungi jurnalis ABC Erin Handley.

"Saya bertanya apa ini? Dia bilang ini gempa," ujarnya.

Bencana itu juga menghancurkan keluarga Adnan lainnya. Seorang paman yang sedang menuju masjid untuk salat hari itu meninggal tertimpa dinding.

Keluarga Adnan sampai kini tidak tahu kapan, bisa menempati kembali rumah mereka seperti sediakala.

Dilupakan oleh media

Menurut Jacqui Ewart, profesor jurnalistik dengan spesialisasi pelaporan bencana dari Griffith University, siklus pemberitaan yang dengan cepat berpindah fokus membuat para penyintas seringkali dilupakan oleh media.

"Kesibukan media di awal-awal bencana bisa seminggu atau beberapa minggu," katanya kepada ABC.

Namun, katanya, justru upaya para penyintas membangun kembali kehidupan mereka cenderung dilupakan oleh media.

Profesor Ewart menjelaskan, memberi kesempatan bagi penyintas untuk berefleksi atas pengalaman traumatik mereka sangatlah penting.

Menurut dia, yang tak kalah pentingnya bagi media dalam meliput bencana, yaitu membicarakan bagaimana dapat menghindari hal serupa di masa depan.

Adnan, yang juga dosen manajemen konstruksi, melihat perlunya perubahan untuk perlindungan bencana di masa depan.

"Mereka harus menegakkan aturan pembangunan. Di daerah yang rawan gempa, kita seharusnya memperkuat struktur, kolom dan balok dari suatu bangunan," katanya.

"Saya berada di dalam bangunan ketika terjadi getaran. Bangunan itu terasa akan runtuh. Itu pengalaman saya. Sangat traumatis dan mengubah banyak hal," tambahnya.

Direktur Pemulihan dan Peningkatan Fisik pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Neulis Zuliasri menjelaskan, ada dua pola pembangunan rumah bagi korban bencana.

"Ada yang direlokasi karena berada di zona 'merah' rawan gempa, rawan tsunami atau di daerah terdampak likuifaksi," katanya kepada jurnalis ABC Farid M. Ibrahim.

Mereka harus direlokasi ke daerah aman, yang untuk Kota Palu telah ditetapkan lahan seluas 560,93 hektare di Kelurahan Duyu, Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise.

"Sedangkan untuk Kabupaten Sigi seluas 362 Ha terletak di Kecamatan Sigi Biromaru, tepatnya di Desa Pombewe dan Desa Oloboju," kata Neulis.

Masalahnya, sebagian tanah tersebut saat ini masih berstatus HGU. Selain itu, ada juga masyarakat yang tidak bersedia dipindahkan ke sana.

"Pembangunan rumah relokasi saat ini sudah dimulai. Dengan bantuan Yayasan Budha Tsuchi, dengan target pembangunan 3.000 unit rumah dilengkapi prasarana dan sarana umum," katanya.

Selain itu, Neulis menjelaskan, saat ini pemerintah sedang memproses pendanaan untuk stimulan bantuan rumah rusak berat yang ada di zona aman atau tidak direlokasi.

Hikmah bencana

Menurut Alys Francis dari LSM Plan International, salah satu hikmah dari bencana Gempa Palu yaitu bahwa LSM setempat kini giat membantu para bayi dan anak-anak mendapatkan akta kelahiran mereka.

"Banyak orangtua yang tidak mendapatkan dokumen ini saat melahirkan anak mereka, mengakibatkan mereka tidak diperhatikan oleh negara," katanya.

"Mereka tak dapat mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan tunjangan sosial," ujar Alys.

Diperkirakan sekitar 45.300 wanita hamil terkena dampak Gempa Palu.

Menurut Oxfam, Australia juga berkontribusi pada upaya pemulihan dengan menyediakan air bersih dan tempat tinggal bagi warga.

Pihak Deplu Australia sebelumnya berkomitmen membantu sekitar 10 juta dolar ASatas permintaan Indonesia untuk upaya rekonstruksi.

Seorang penyintas lainnya, Tombeng, kini jadi relawan bersama Oxfam.Ingatan pada kejadian itu masih mempengaruhi dirinya, tetapi dia mengatakan bahwa laut yang mengirimkan tsunami seperti sekarang memiliki efek menenangkan.

"Saat saya stres, saya pergi ke laut," katanya.

Dia berharap bencana tidak akan terjadi lagi. Tapi jika datang lagi, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan. "Kita harus saling membantu satu sama lain. Itu yang penting," ujar Tombeng.

Ikuti juga berita lainnya dari ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-03-28/enam-bulan-pasca-gempa-palu,-krisis-belum-juga-berakhir/10948864
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement