Jumat 05 Apr 2019 07:52 WIB

Sri Mulyani Menkeu Terbaik Se-Asia Pasifik 3 Tahun Berturut-turut

80 persen utang RI berupa SBN dengan bunga 8 persen, tertinggi se-Asia Pasifik.

Red:
Sri Mulyani
Sri Mulyani

Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, kembali dinobatkan sebagai Menkeu terbaik di kawasan Asia-Pasifik. Ia mengalahkan beberapa Menteri dari negara maju seperti Menkeu Utama Australia, Josh Frydenberg.

Sri Mulyani menerima gelar Menkeu Asia-Pasifik terbaik selama 3 tahun berturut-turut sejak 2017. Gelar itu diberikan oleh media FinanceAsia, yang berpusat di Hong Kong, pada awal April ini atas prestasinya dalam menekan defisit fiskal selama 6 tahun.

Mantan Direktur Utama Bank Dunia ini mengalahkan Menkeu Utama Australia, Josh Frydenberg, yang berada di posisi keempat. Menkeu Singapura Heng Swee Keat di peringkat tiga, serta Menkeu Cina Liu Kun di posisi tujuh.

Dalam artikel tentang terpilihnya Menkeu terbaik ini, FinanceAsia menyebut Sri Mulyani berhasil menjaga ketahanan fiskal meski pasar keuangan global mengalami turbulensi di tahun 2018.

Program pengampunan pajak atau tax amnesty juga dipuji sebagai salah satu poin baik dari kebijakan yang diterbitkan oleh satu-satunya Menkeu perempuan di Asia Pasifik ini

"Melalui program Amnesti Pajak yang diluncurkan pada tahun 2016-2017, Menkeu Sri Mulyani juga berhasil meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance), yang pada akhirnya berhasil meningkatkan penerimaan perpajakan," ujar Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan RI, dalam keterangan pers yang diterima ABC (4/4).

Nufransa menambahkan, terobosan yang diperuntukkan bagi investor turut menjadi faktor penting prestasi Sri Mulyani.

"Melalui Global Green Sukuk, Menkeu Sri Mulyani juga mengantarkan Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menjual green bonds, surat utang yang digunakan secara spesifik untuk membiayai proyek-proyek untuk iklim dan lingkungan, yang terjual hingga 1,25 miliar dolar AS," tulisnya.

Sukuk ini, sebut FinanceAsia, mengadopsi prinsip keuangan Islam dan memiliki kupon atau imbal balik sebesar 3,75 persen dibanding suku bunga 4.05 persen yang biasa digunakan bankir sebagai panduan bagi investor.

Ekonom Bank Mandiri, Dendi Ramdani mengatakan, keberhasilan Sri Mulyani mempertahankan gelar salah satunya memang berasal dari sikap disiplin dalam menjalankan kebijakan fiskal.

"Dari sisi pengeluaran sangat ketat dengan melakukan efisiensi anggaran dan dipastikan anggaran tersebut efektif. Di sisi penerimaan juga terus dilakukan upaya peningkatan penerimaan pajak," jelasnya kepada ABC.

"(Pengeluaran) secara alokasi sudah on the right track dengan mengurangi subsidi yang tidak produktif seperti subsidi BBM dan sekarang subsidi dialokasikan dengan mentarget orang miskin secara langsung."

Dendi menjelaskan disiplin anggaran begitu penting untuk menjaga agar defisit bisa ditekan dibawah 3 persen. "Sehingga tekanan terhadap keperluan pembiayaan pun berkurang, termasuk tekanan terhadap mata uang rupiah," imbuhnya.

Sependapat dengan Dendi, peneliti Institut Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, turut mengakui kelihaian Sri Mulyani dalam menekan defisit anggaran.

"Sekarang kan di bawah 2,2 persen ya targetnya. Kemudian penerimaan negara memang beberapa sektor cukup meningkat. Nah ini kan yang membuat defisit kita jadi rendah."

"Kemudian Sri Mulyani juga harus diakui dia berani untuk memangkas belanja-belanja operasional Kementerian sehingga pada waktu transisi dari pak Bambang Brodjonegoro ke Bu Sri Mulyani itu memang banyak sekali belanja-belanja yang dihemat," paparnya.

Paradoks utang

 

Di sisi lain, kedekatan Sri Mulyani terhadap investor dengan menerbitkan beragam surat utang atau SBN dianggap memiliki konsekuensi. Di bawah Sri Mulyani era Jokowi, struktur utang Indonesia mengalami perubahan signifikan.

"Waktu era SBY itu, contoh utang ya, utang itu 80 persen masih dalam bentuk pinjaman bilateral dan multilateral. Kita pinjem ke Bank Dunia dulu. Kita pinjam ke Islamic Development Bank. Dua puluh persennya itu baru surat utang."

Sedangkan saat ini, 80 persen penerbitan utang Indonesia berada dalam bentuk SBN atau surat utang dengan bunga 8 persen. "Tertinggi se-Asia Pasifik," sebut Bhima dari INDEF.

"Sementara, untuk pinjaman bilateralnya, itu hanya sekitar 20 persen kurang bahkan."

Porsi surat utang yang cukup besar dengan bunga yang mahal bisa menjadi bom waktu, kata Bhima. "Karena kita bayar bunganya kemahalan maka di 2018 kemarin, realisasi belanja pembiayaan bunga utang itu melebihi 100 persen dari target APBN. "

"Dan bahkan di era-nya Bu Sri Mulyani kita membayar bunga utangnya saja itu dengan menerbitkan utang baru. Gali lubang tutup lubang."

Bhima menegaskan ada paradox dalam konsekuensi utang Indonesia. Dalam jangka panjang, jika porsi SBN meningkat cukup signifikan, maka bisa jadi APBN yang seharusnya untuk belanja produktif, seperti alokasi dana desa, pembangunan infrastruktur, sebagian terserap untuk membayar bunga utang.

Pencabutan subsidi di beberapa pos, yang memegaruhi tingkat konsumsi rumah tangga, ternyata juga berdampak produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Padahal 56 persen PDB disumbang konsumsi. Sementara pengalihan subsidi ke belanja infrastruktur efeknya ternyata lama dan banyak infrastruktur yang kurang prioritas dibangun misal, Bandara Kertajati dan kereta Bandara-Sudirman," ungkp Bhima.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement