Senin 15 Apr 2019 14:40 WIB

Polisi Moral Teror Kamp Pengungsi Bekas ISIS di Suriah

Kamp pengungsi bekas ISIS di Suriah berada dalam kondisi buruk.

Red: Nur Aini
Seorang perempuan Suriah memasak di kamp pengungsi di Idomeni, Yunani, Selasa, 10 Mei 2016.
Foto: AP Photo/Petros Giannakouris
Seorang perempuan Suriah memasak di kamp pengungsi di Idomeni, Yunani, Selasa, 10 Mei 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Penyakit dan kurangnya fasilitas banyak dirasakan di kamp pengungsi al-Hawl di Suriah, namun pengungsi di sana menghadapi ancaman lainnya dari para pengantin ISIS yang sekarang bertindak sebagai polisi moral.

Belasan perempuan tampak berjajar di pagar pintu masuk ke kamp pengungsi tersebut. Mata mereka terus memandang Tim Four Corners ABC di balik cadar hitam, pakaian yang banyak digunakan oleh pengikut ISIS. Ketika tim mendekat, sejumlah perempuan berniqab ini tampak marah dan meneriakkan slogan ISIS dalam bahasa Arab yang artinya "ISIS belum mati."

Baca Juga

Petugas keamanan kamp mengeluarkan tongkat yang memiliki kejutan listrik. Mereka mendorong para perempuan tersebut agar membubarkan diri. Terlihat lemparan batu, dan para perempuan itu saling berteriak.

Begitulah suasana kamp pengungsi al-Hawl yang terletak di wilayah yang dikuasai kelompok Kurdi di Suriah Tenggara. Di sana ditampung sekitar 72 ribu pengungsi, kebanyakan perempuan dan anak-anak yang memilih atau dipaksa bergabung dengan ISIS.

Tim Four Corners ABC diizinkan masuk ke kamp pengungsi tiga kali pada awal April. Di kunjungan kedua, tim tiba-tiba dipanggil petugas dan diperintahkan meninggalkan daerah itu dengan pertimbangan keselamatan.

Tak lama kemudian terdengar suara petugas keamanan mengeluarkan tembakan peringatan ke udara. Besar kemungkinan beberapa perempuan yang ada di pintu masuk kamp itu adalah anggota tidak resmi "mafia ISIS".

Menurut polisi, para mafia ISIS itu memukuli atau mengintimidasi perempuan lain yang tidak mengenakan niqab ataupun tindakan yang dianggap tak Islami oleh ISIS.

Seorang perempuan Jerman yang meminta namanya tak disebut mengatakan kepada ABC bahwa dia dipukuli seorang anak laki-laki karena tidak mengenakan niqab.

"Kalau kita tidak mengikuti aturan dan tidak mengenakan niqab, kita jadi sasaran," katanya.

Dia dipenjara oleh ISIS karena mencoba melarikan diri dari daerah yang sebelumnya dikuasai kelompok teroris ini. Akhirnya dia bisa mencapai kamp al-Hawl. "Saya sudah di sini selama 14 bulan. Saya orang asing pertama yang tiba," katanya.

"Saya tidak tahu apakah saya bisa kembali ke Jerman," ujarnya.

Penderitaan di mana-mana

Al-Hawl dan al-Roj, kamp pengungsi lain di kawasan Suriah yang dikuasai kelompok Kurdi, banyak menampung perempuan asing dan anak-anak mereka yang ditinggal kombatan ISIS setelah kekalahan mereka.

Penjaga kamp adalah Pasukan Demokratik Suriah (SDF), kelompok paramiliter Kurdi yang didukung AS, yang berusaha merebut kembali wilayah yang dikuasai IS di tahun 2014 dan 2015. Lebih dari 10 ribu warga asing ditahan di al-Hawl, terdiri atas berbagai kebangsaan asal Eropa, Asia, Rusia, Amerika Serikat, Australia, dan negara lainnya.

Mereka ditahan di sebuah sudut di kamp pengungsi itu yang dikenal dengan nama kamp orang asing. Kunjungan ABC ke kamp pengungsi asing al-Hawl itu menunjukkan penderitaan. Remaja yang kehilangan kaki dan tangan, perempuan yang tidak bisa lagi berdiri, dan balita yang luka besar di tangan dan kaki.

Four Corners berbicara dengan seorang perempuan Kanada yang tinggal di tenda milik UNHCR di bagian belakang kamp tersebut. Dia juga minta namanya disamarkan.

Malam sebelum tim ke sana, perempuan Kanada yang memiliki dua anak dan sedang hamil anak ketiga tersebut terpaksa berlindung di bawah selimut, karena tendanya diterbangkan angin. Dia mengikuti suaminya ke Suriah dan bergabung dengan ISIS, namun kemudian meninggal.

Dia hidup sebagai janda selama dua tahun, namun mengaku mustahil bisa hidup sendirian sebagai perempuan di bawah ISIS. Dia akhirnya menikah lagi dengan pria berusia 50-an tahun.

Suami keduanya juga meninggal tiga bulan kemudian dan perempuan Kanada ini sekarang sedang hamil.

Ketika ABC menemuinya, dia sedang mengepak barang-barangnya, beberapa selimut yang kotor terkena lumpur, peralatan memasak dan kantong pakaian bekas, yang dimasukkan ke sebuah troli sehingga dia bisa pindah ke tenda lainnya.

"Tempat ini seperti neraka. Kami tidak memiliki apapun, dan hal-hal buruk terjadi di sini," katanya.

"Kemarin seorang penjaga bilang, tunggu saja sampai pasukan AS meninggalkan Suriah, kemudian akan melakukan apa yang dilakukan ISIS terhadap para wanita Yazidi," ujarnya.

Di akhir 2014, ketika ISIS menguasasi wilayah Irak Utara, mereka membunuh dan memperbudak ribuan warga Yazidi, kelompok agama minoritas di sana. Banyak perempuan Yazidi ini kemudian dijual sebagai budak seks kepada kombatan ISIS.

Pihak SDF yang mengelola kamp membantah bahwa para penjaga di sana akan melakukan sesuatu yang buruk. Seorang pengungsi perempuan mengatakan kepada ABC bahwa mereka kaget dengan baiknya perlakuan dari warga Kurdi, yang sebenarnya dianggap sebagai salah satu musuh utama ISIS di Suriah.

Lihat artikel ini selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini

Tonton Watch Orphans of ISIS, hari Senin malam di acara Four Corners jam 20:30 di ABC TV dan iview.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-04-15/pengantin-is-sekarang-jadi-polisi-moral-di-kamp-pengungsi-suriah/11004526
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement