Kamis 15 Mar 2018 20:46 WIB

Afsel Kecam Pernyataan Australia Terkait Petani Kulit Putih

Afsel mengatakan tidak ada kelompok masyarakatnya yang berada dalam bahaya.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
  Mendagri Australia Peter Dutton menyatakan petani kulit putih yang terancam di Afsel butuh bantuan dari Australia.
Foto: ABC News/Luke Stephenson
Mendagri Australia Peter Dutton menyatakan petani kulit putih yang terancam di Afsel butuh bantuan dari Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN -- Afrika Selatan (Afsel) mengecam Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton yang mengatakan petani kulit putih Afsel harus mendapatkan visa khusus. Visa tersebut memungkinkan mereka melarikan diri dari keadaan yang mengerikan di negaranya.

Menurut Dutton, warga Afsel pantas mendapat perhatian khusus untuk bisa diterima sebagai pengungsi dengan alasan keamanan. Meski demikian, ia sebelumnya pernah mendapat kritik tajam dari masyarakat internasional karena memberikan tindakan keras terhadap pencari suaka dari Asia dan Timur Tengah.

Dia mengaku mendapat laporan tentang adanya serangan darat dan kekerasan yang menargetkan petani kulit putih minoritas di Afsel. "Jika Anda melihat rekamannya, Anda mendengar ceritanya, dan Anda membaca laporannya, mereka telah menghadapi keadaan mengerikan," kata Dutton kepada Daily Telegraph Sydney, Rabu (14/3) malam.

"Saya telah meminta departemen saya untuk melihat apakah ada cara bagi kami untuk dapat memberikan beberapa bantuan, karena yang saya lihat orang-orang itu memerlukan bantuan, dan mereka membutuhkan bantuan dari negara yang beradab seperti kami," ujar dia.

Tawaran tersebut ditolak dengan cepat oleh Afsel. Kementerian Luar negeri Afsel mengatakan tidak ada kelompok masyarakat di negara itu yang berada dalam bahaya.

"Tidak ada alasan bagi pemerintah mana pun di dunia ini untuk mencurigai Afrika Selatan berada dalam bahaya dari pemerintahan mereka yang terpilih secara demokratis. Ancaman itu sama sekali tidak ada," ujar kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan, Rabu (14/3).

Pernyataan tersebut menambahkan, Afsel menyesalkan pemerintah Australia telah memilih tidak menggunakan saluran diplomatik yang ada untuk mengemukakan kekhawatiran mereka. Australia juga tidak meminta klarifikasi mengenai proses pendistribusian tanah di Afsel.

Pernyataan Dutton itu disampaikan beberapa bulan setelah dunia digegerkan dengan kondisi sejumlah pencari suaka di kamp pengungsian terpencil di Pasifik. Mereka harus mendapatkan kompensasi sebesar 56 juta dolar AS karena ditahan secara ilegal dan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh Australia.

Canberra yang menolak para pencari suaka itu, mengirim mereka ke Pulau Manus di Papua Nugini dan ke Pulau Nauru di Pasifik dengan kapal, bukan melalui jalur resmi. Juru bicara Refugee Action Coalition di Sydney, Ian Rintoul, mengatakan pernyataan Dutton menunjukkan kemunafikan yang luar biasa dari pemerintah Australia.

"Jika petani kulit putih Zimbabwe atau petani kulit putih Afrika Selatan tiba dengan kapal di Australia, mereka tidak akan ditahan. Namun jika mereka berasal dari Ethiopia, Sudan, Somalia, Irak, atau Afghanistan, sikap pemerintah akan sangat berbeda. Perahu diputar balik dan mereka akan diusir ke Nauru serta Manus," kata Rintoul, kepada Aljazirah.

Kepemilikan tanah merupakan subjek yang sangat sensitif di Afsel, hingga 24 tahun setelah berakhirnya praktik apartheid. Menurut laporan Land Audit Report pada November lalu, warga kulit putih masih memiliki sekitar 72 persen lahan milik individu, sementara mayoritas warga kulit hitam hanya memiliki empat persen.

African National Congress yang berkuasa di negara tersebut telah mendukung pengambilalihan tanah tanpa kompensasi. Presiden Afsel Cyril Ramaphosa telah berjanji akan meningkatkan kecepatan redistribusi tanah dari warga kulit putih yang kaya raya ke warga kulit hitam yang lebih miskin.

"Saya dapat mengatakan kami tidak akan membiarkan lahan diperebutkan. Kami tidak akan membiarkan invasi darat dan mereka yang tergoda untuk melakukan kegiatan semacam itu harus diberi peringatan terlebih dahulu. Kami tidak akan membiarkan hal itu karena ilegal. Namun selain ilegal, hal itu juga akan melanggar hak warga negara Afrika Selatan lainnya," kata Ramaphosa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement