Selasa 26 Jun 2018 14:21 WIB

Aljazair Diduga Telantarkan 13 Ribu Imigran di Sahara

Ribuan imigran terpaksa berjalan kaki di gurun tanpa pasokan makanan dan air.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Reiny Dwinanda
 Warga Nigeria dan migran dari dunia ketiga bergerak menuju Libya dari Agadez, Niger, Senin (4/6). Migran dari seluruh sub-Sahara Afrika--Mali, Gambia, Huinea, Pantai Gading, Niger, dan lainnya--adalah bagian dari migrasi massal menuju Eropa. Sebagian dari mereka melarikan diri dari kekerasan di negara asal, sebagian lain hanya ingin mencari penghidupan.
Foto: AP Photo/Jerome Delay
Warga Nigeria dan migran dari dunia ketiga bergerak menuju Libya dari Agadez, Niger, Senin (4/6). Migran dari seluruh sub-Sahara Afrika--Mali, Gambia, Huinea, Pantai Gading, Niger, dan lainnya--adalah bagian dari migrasi massal menuju Eropa. Sebagian dari mereka melarikan diri dari kekerasan di negara asal, sebagian lain hanya ingin mencari penghidupan.

REPUBLIKA.CO.ID, ALJIR -- Aljazair dituduh menelantarkan lebih dari 13 ribu imigran di Gurun Sahara selama 14 bulan terakhir. Anak-anak dan perempuan hamil termasuk di antaranya. Negara itu dilaporkan telah mengusir para imigran tanpa memberi makanan atau air dan memaksa mereka untuk berjalan, kadang-kadang di bawah todongan senjata, di tengah panas yang hebat.

Rekaman video yang diperoleh Associated Press menunjukkan, ribuan imigran berjalan kaki di gurun dengan suhu mencapai 48 derajat Celsius. Jika beruntung, mereka bisa mencapai Desa Assamakka di Niger, setelah melintasi wilayah gurun seluas 10 mil yang tidak dihuni manusia.

Namun, kebanyakan dari mereka justru terdampar selama berhari-hari sampai pasukan penyelamat PBB menemukan mereka. Jumlah korban yang tewas dalam perjalanan juga sudah tidak terhitung.

"Perempuan tergeletak mati, sementara laki-laki hilang di padang pasir karena mereka tidak tahu arah jalan," kata Janet Kamara, imigran yang sedang hamil saat ditemukan di Gurun Sahara.

Janet mengaku harus tidur di tempat terbuka selama dua malam sebelum kelompoknya berhasil diselamatkan. Nahas, dia kehilangan bayinya, hal yang sama juga sering dialami oleh imigran lainnya yang sedang hamil.

photo
Warga Nigeria dan migran dari dunia ketiga menuju Libya dari Agadez, Niger, Senin (4/6). Setiap Senin malam, mereka berkonvoi penuh harapan untuk bisa melintasi pos pemeriksaan militer di pinggir kota. Bekal mereka hanya botol minuman. (AP)


Pengusiran massal di Aljazair telah meningkat sejak Oktober 2017, setelah Uni Eropa memperbarui tekanannya pada negara-negara Afrika Utara dengan menghadang para migran yang menuju ke Eropa melalui Laut Mediterania. Seorang juru bicara Uni Eropa mengatakan, dia menyadari apa yang dilakukan Aljazair adalah hal yang salah. Namun menurutnya, negara-negara berdaulat berhak mengusir imigran selama mereka mematuhi hukum internasional.

Tidak seperti Niger, Aljazair tidak mengambil uang dari Uni Eropa yang dimaksudkan untuk membantu mengatasi krisis migrasi. Meski demikian, Aljazair pernah menerima bantuan sebesar 111.3 juta dolar AS dari Eropa antara 2014 dan 2017.

Pemerintah Aljazair tidak mengumumkan angka pasti berapa imigran yang telah diusir paksa. Namun jumlah orang yang menyeberang dengan berjalan kaki ke Niger telah meningkat sejak Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mulai mencatatnya pada Mei 2017. Jumlahnya mencapai 2.888 orang pada April 2018.

Secara keseluruhan, menurut IOM, total imigran yang masih dinyatakan selamat adalah 11.276 orang. Ratusan imigran harus berjejalan di dalam truk selama berjam-jam menuju Titik Nol, lalu diturunkan di padang pasir untuk menuju ke arah Niger. Sebanyak 2.500 lainnya dipaksa melakukan perjalanan yang sama ke Mali.

"Ada orang-orang yang tidak bisa melakukannya. Mereka hanya bisa duduk dan kami terpaksa meninggalkannya. Mereka terlalu menderita," kata Aliou Kande, imigran berusia 18 tahun dari Senegal.

photo
Dalam foto yang diperoleh dari Ju Dennis, migran asal Liberia, ini terlihat rekan seperjuangannya sesama migran yang diusir dari Aljazair berbaring di dalam sebuah truk terbuka menuju perbatasan Niger di Titik Nol (Point Zero), Rabu (9/5). Dari situ, mereka harus berjalan ke selatan ke Gurun Sahara menuju perbatasan Nigeria, pos di Assamaka. (AP)


Kande mengatakan puluhan orang menyerah dalam perjalanan itu dan mereka ambruk di atas pasir gurun. "Mereka melemparkan kami ke padang pasir, tanpa telepon, tanpa uang," ungkapnya.

Otoritas Aljazair menolak untuk berkomentar. Pemerintahannya sebelumnya telah membantah tuduhan bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM dengan menelantarkan para imigran di padang pasir.

IOM memperkirakan, jumlah imigran yang tewas di gurun dua kali lebih besar daripada jumlah imigran yang tewas di lautan. Angkanya diperkirakan naik menjadi 30 ribu orang sejak 2014.

Baca juga: Kematian 44 Migran di Gurun Sahara Kejutkan UNHCR

“Mereka yang datang berjumlah ribuan. Kali ini, dalam pengusiran yang saya tahu, saya belum pernah melihat yang sebanyak ini,” kata Alhoussan Adouwal, seorang pejabat IOM yang telah tinggal di Assamakka, Niger.

Sebagian besar imigran yang telah sampai di Niger memilih untuk menggunakan bus IOM untuk pergi ke Kota Arlit, dengan menempug perjalanan sekitar enam jam ke selatan. Mereka juga pergi ke Agadez, sebuah kota di Niger yang telah menjadi persimpangan imigrasi selama beberapa generasi.

Namun pada akhirnya, mereka akan kembali ke negara asal mereka masing-masing dengan penerbangan yang disponsori oleh IOM. Sepanjang 2017, sudah lebih dari 1.300 orang kehilangan nyawa dalam penyeberangan berbahaya oleh para migran yang mengungsi dari kemiskinan dan perang di Afrika dan Timur Tengah.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement