Kamis 28 Jun 2018 15:29 WIB

PBB: 10 Ribu Anak Tewas Akibat Konflik pada 2017

Laporan tahunan PBB juga mengungkap lebih dari 8.000 anak dijadikan milisi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Reiny Dwinanda
Seorang anak Yaman dirawat di sumah sakit setempat di Sana'a, Yaman. Menurut laporan PBB tiga juta balita Yaman terancam malnutrisi akibat konflik berkepanjangan antara dua pihak yang masing-masing didukung Arab Saudi dan Iran.
Foto: Yahya Arhab/EPA
Seorang anak Yaman dirawat di sumah sakit setempat di Sana'a, Yaman. Menurut laporan PBB tiga juta balita Yaman terancam malnutrisi akibat konflik berkepanjangan antara dua pihak yang masing-masing didukung Arab Saudi dan Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- PBB mengungkap lebih dari 10 ribu anak tewas atau cacat akibat konflik sepanjang 2017. Di samping itu, lebih dari delapan ribu anak-anak lainnya direkrut untuk dijadikan milisi.

Hal ini diungkapkan PBB melalui laporan tahunannya yang bertajuk Secretary General on Children and Armed Conflict (CAAC) yang dirilis pada Rabu (27/6). Dalam laporan ini, PBB mendokumentasikan pelanggaran dan kekerasan terhadap anak-anak di 20 negara dunia, antara lain Suriah, Yaman, Afghanistan, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Myanmar, Filipina, dan India.

Ahli PBB untuk Anak-anak dan Konflik Bersenjata Virginia Gamba mengatakan terdapat 66 pihak yang terlibat konflik yang terdaftar pada 2017. 57 di antaranya adalah kelompok bersenjata, sedangkan sisanya pasukan pemerintah.

"Di antara pelanggaran paling signifikan yang tercatat pada 2017 adalah pembunuhan, rekrutmen dan penggunaan anak-anak, serta serangan terhadap sekolah dan rumah sakit, yang semuanya mencatat kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya," kata Gamba, dikutip laman UN News.

Menurut PBB, telah terjadi lebih dari 21 ribu pelanggaran berat hak-hak anak antara Januari dan Desember 2017. Jumlah tersebut meningkat cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 15.500 kasus pelanggaran hak anak.

Dari 21 ribu pelanggaran berat hak anak, enam ribu kasus di antaranya dilakukan oleh pasukan pemerintah. Sementara sebagian besar sisanya melibatkan berbagai kelompok bersenjata non-negara.

Gamba mengatakan, krisis di Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman menjadi pemicu utama meningkatnya kasus pelanggaran berat hak anak. Ia memberi contoh diubahnya anak-anak di nigeria sebagai bom manusia, di mana hampir separuh dari 881 korban anak yang diverifikasi berasal dari serangan bunuh diri.

photo
Seorang anak dan pria memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Douma, Ghouta Timur, Damaskus, Suriah. Foto diambil pada 25 Februari 2018..


Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah jumlah anak-anak yang ditahan karena dugaan hubungan mereka dengan kelompok-kelompok bersenjata. Misalnya, lebih dari seribu anak-anak di Irak ditahan karena mereka diduga berafiliasi dengan ISIS.

Seretaris Jenderal PBB Antonio Guterres cukup geram mengetahui data tersebut. "Anak-anak laki dan perempuan sekali lagi telah terlalu terkena dampak krisis berkepanjangan dan kekerasan. Meskipun ada kemajuan, tingkat pelanggaran tetap tidak dapat diterima," kata Guterres dalam sebuah pernyataan yang dirilis juru bicaranya.

"Sekretaris Jenderal menegaskan kembali bahwa cara terbaik untuk mengatasi situasi yang mengerikan ini adalah mempromosikan solusi damai untuk konflik. Dia meminta semua pihak mengerahkan upaya maksimal dalam hal ini," kata juru bicara Guterres.

Adapun perihal kemajuan yang disinggung Guterres dalam pernyataannya adalah tentang berhasilnya pelaksanaan pembebasan 10 ribu anak-anak dari kelompok dan pasukan bersenjata. Terdapat empat kelompok bersenjata di Myanmar yang bahkan telah setuju untuk bekerja dengan PBB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement