Rabu 09 Jan 2019 11:35 WIB

Sosok Presiden Ali Bongo, Target Kudeta Militer di Gabon

Keluarga Ali Bongo berkuasa di Gabon selama 50 tahun.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden Gabon, Ali Bongo Ondimba
Presiden Gabon, Ali Bongo Ondimba

REPUBLIKA.CO.ID, LIBREVILLE -- Presiden Ali Bongo telah menjadi sosok yang selalu ada dalam kehidupan warga Gabon sejak ia mengambil alih kekuasaan pada 2009. Ia menggantikan mendiang ayahnya, Omar Bongo, yang telah memerintah negara kaya minyak itu selama 42 tahun.

Namun, sejak Oktober lalu Bongo telah meninggalkan ibu kota Libreville setelah menderita stroke saat menghadiri sebuah pertemuan puncak di Arab Saudi.

Aljazirah melaporkan, Bongo dilahirkan di Kota Brazzaville, Kongo, pada 1959 dari seorang ibu yang masih berusia 15 tahun pada saat itu. Ia lahir sebelum orang tuanya resmi menikah.

Bongo yang kecil namun kekar kemudian menghabiskan tahun-tahun awal hidupnya untuk melawan spekulasi bahwa ia bukan asli Gabon. Bongo yang dikenal dengan inisialnya ABO, berhenti berkarir di bidang musik untuk menjadi 'manusia baru' dengan mengubah namanya dari Alain menjadi Ali, setelah masuk Islam seperti ayahnya.

Ayah Bongo, Omar, yang memerintah selama lebih dari empat dasawarsa, telah mengumpulkan jumlah kekayaan yang banyak, sebagian besar berasal dari kekayaan minyak Gabon yang cukup besar. Omar mengklaim, Ali dan kakak perempuannya, Pascaline, bekerja untuknya berdasarkan bakat mereka, dan bukan merupakan bentuk nepotisme.

Sebagai seorang pemuda, Ali Bongo bekerja sebagai letnan setia bagi ayahnya. Dia berkeliling dunia dan membangun kontak yang luas dengan Amerika Serikat (AS) dan dunia Arab.

Pada 1989, ia diangkat sebagai menteri luar negeri Gabon pada usia 30 tahun. Akan tetapi, ia harus mundur dua tahun kemudian ketika sebuah konstitusi baru menetapkan bahwa anggota kabinet setidaknya harus berusia di atas 35 tahun.

Dia kembali ke pemerintahan pada 1999 sebagai kepala Kementerian Pertahanan. Di sana, ia menjabat tak lama sebelum dimulainya kampanye pemilu yang disebabkan oleh kematian ayahnya pada 2009.

Kehidupan mewahnya sangat kontras dengan kemiskinan yang meluas. Penyerahan kekuasaan kepada Bongo dari ayahnya tidak mengejutkan, mengingat ia memiliki ambisi selama bertahun-tahun, meskipun ada penentangan dari Gabonese Democratic Party (PDG) yang berkuasa dan bayangan korupsi yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Pada 2016, ia terpilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan kedua dengan mendapatkan hanya beberapa ribu suara dalam pemilu. Ia mengalahkan penantangnya, Jean Ping, setelah kampanyenya yang dirusak oleh bentrokan berdarah dan tuduhan penipuan pemilih.

Demi meyakinkan rakyat yang telah diperintah oleh dinasti keluarganya selama beberapa dekade, Bongo mencoba menyamar sebagai agen perubahan. Ia mengemas setiap pidato dengan kata-kata seperti "pembaruan" dan "inovasi".

Dia meluncurkan serangkaian proyek, termasuk diversifikasi ekonomi, membuka pasar untuk investor Asia, memangkas sektor negara, dan membangun tempat hiburan raksasa di jantung ibu kota Libreville.

Bongo memecat sejumlah pejabat lama dan menggantinya dengan generasi yang lebih muda. "Ia ingin mengusir hantu ayahnya dan melakukan kontrol yang lebih besar," kata seorang pengamat diplomatik.

Namun bagi para kritikus, Bongo dinilai kaku dan tidak memiliki pesona serta keterampilan komunikasi seperti yang dimiliki ayahnya. Dia diketahui belajar di sekolah top di ibu kota Brazzaville, Kongo, dan melanjutkan mata kuliah hukum di Prancis. Namun tidak belajar bahasa lokal apa pun di Gabon, yang merupakan suatu kerugian besar. Pada 1978, Bongo menikahi Sylvia, seorang perempuan keturunan Prancis-Gabon, dan memiliki empat anak.

Baca: Pemerintah Gabon Gagalkan Kudeta Militer

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement