Ahad 03 Feb 2019 10:24 WIB

Pemerintah Afrika Tengah Sepakat Berdamai dengan Pemberontak

Sebanyak 14 kelompok pemberontak menyepakati kesepakatan damai dengan pemerintah

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Peta Afrika Tengah
Foto: timeslive.co.za
Peta Afrika Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANESBURG -- Pemerintah Republik Afrika Tengah (CAR) menyepakati kesepakatan damai dengan 14 kelompok pemberontak Afrika setelah pembicaraan yang dilakukan di Khartoum, Sudan pada Sabtu (2/2) waktu setempat.

Kesepakatan tersebut diumumkan oleh misi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) di CAR yang dikenal sebagai Minusca dan Uni Afrika (AU). Keduanya merupakan mediator pembicaraan di Khartoum.

"Ini adalah hari yang menyenangkan bagi Republik Afrika Tengah dan rakyat," kata komisioner AU Smail Chergui seperti dikutip BBC, Ahad (3/2).

Pemerintah mengatakan, perjanjian damai akan segera ditandatangani di Bangui dalam waktu dekat. Meski demikian, rincian perjanjian belum dirilis.

"Kami telah merampungkan perjanjian damai di Khartoum, yang memungkinkan rakyat Republik Afrika Tengah untuk memulai jalan rekonsiliasi, perjanjian dan pembangunan," kata Chergui melalui akun Twitternya.

Pemerintahan Presiden Faustin-Archange Touadera itu juga mengkonfirmasi perjanjian tersebut melalui Twitter. "Perjanjian ini harus dimulai besok (Ahad) dan penandatanganannya akan berlangsung di Bangui dalam beberapa hari," kata Touadera.

Seorang juru bicara untuk fraksi bersenjata FPRC Abakar Sabom mengatakan, konsensus telah dicapai pada poin-poin penting yang termasuk amnesti bagi milisi dan pemerintah inklusif.

"Kami dapat menyepakati apa yang penting bagi Republik Afrika Tengah yakni perdamaian. Kami berharap perjanjian ini akan membawa kembali kohesi sosial ke negara itu," kata Abakar Sabom.

Kendati demikian, analis memperingatkan bahwa kesepakatan damai sebelumnya pernah gagal. Untuk itu, kesepakatan kali ini diharapkan berjalan dengan semestinya.

CAR telah mengalami ketidakstabilan negara sejak memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1960. Negara itu terjerumus ke dalam kekacauan pada 2013 ketika pemberontak Muslim dari kelompok yang dinamakan payung Seleka merebut kekuasaan.

Sekelompok besar milisi Kristen, yang disebut anti-Balaka, bangkit untuk melawan Seleka. Ribuan orang terbunuh dalam kekerasan dan lebih dari satu juta orang terlantar di dalam negara sendiri. Diperkirakan 570 ribu orang telah melarikan diri ke luar negeri.

Bulan lalu ketua federasi sepak bola Republik Afrika Tengah muncul di Pengadilan Pidana Internasional (ICC) untuk pertama kalinya sejak ia ditangkap tahun lalu di Prancis atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Patrice-Edouard Ngaissona dituduh anti-Balaka selama setidaknya satu tahun di awal pertempuran.

Pada bulan November tahun lalu, Alfred Yekatom muncul di ICC. Ia dituduh melakukan kejahatan termasuk pembunuhan, penyiksaan dan penggunaan tentara anak-anak. Dia diduga memerintahkan sekitar 3.000 pemberontak yang sebagian besar beragama Kristen di dan sekitar ibu kota pada awal pertempuran. Dia ditangkap tahun lalu setelah melepaskan tembakan di parlemen.

Sejauh ini tidak ada pejuang Seleka yang secara terbuka dijadikan sasaran oleh kepala jaksa pengadilan, Fatou Bensouda.

Ketika pembicaraan damai dimulai bulan lalu, Dewan Pengungsi Norwegia memperingatkan terjadi "malapetaka" jika tidak ada kesepakatan tercapai. Dewan mengatakan, siklus berulang jika kekerasan di salah satu negara termiskin di dunia telah mendorong perlawanan orang ke titik puncaknya.

"Mayoritas 2,9 juta orang di Republik Afrika Tengah sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan," kata perwakilan Dewan Pengungsi Norwegia.

Pada Kamis kemarim, Dewan Keamanan AS dengan suara bulat memutuskan untuk memperpanjang embargo senjata di Republik Afrika Tengah selama satu tahun. Sekitar 13 ribu pasukan penjaga perdamaian PBB dikerahkan di negara itu dengan biaya hampir 900 juta dolar AS per tahun dalam misi yang dikenal sebagai Minusca.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement