Senin 11 Mar 2019 11:20 WIB

19 Staf PBB Ikut Menjadi Korban Jatuhnya Ethiopian Airlines

Boeing 737 Max-8 Ethiopian Airlines jatuh beberapa menit setelah lepas landas.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Ethiopian Airlines Jatuh. Puing-puing yang diduga berasal dari pesawat Ethiopian Airlines yang jatuh ditemukan di Hejere, 50 km dari Addis Ababa, Kenya (10/3).
Foto: AP
Ethiopian Airlines Jatuh. Puing-puing yang diduga berasal dari pesawat Ethiopian Airlines yang jatuh ditemukan di Hejere, 50 km dari Addis Ababa, Kenya (10/3).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekitar 19 anggota staf organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut menjadi korban dalam kecelakaan Ethiopian Airlines ET-320 pada Ahad (10/3) pagi.

Boeing 737 Max-8 yang dioperasikan oleh Ethiopian Airlines jatuh beberapa menit setelah lepas landas dari Addis Ababa. Insiden tersebut menewaskan 149 penumpang serta 8 awak.

Baca Juga

Addis Ababa dan Nairobi merupakan 'rumah' bagi staf PBB. Para staf yang menjadi korban tersebut akan menghadiri sidang Majelis Lingkungan PBB yang dimulai pada Senin (11/3).

Sidang Majelis Lingkungan PBB merupakan sidang tingkat tinggi dunia mengenai lingkungan. Sidang ini akan mempertemukan perwakilan dari negara-negara anggota PBB untuk mengatasi masalah lingkungan.

Juru bicara sekretaris jenderal PBB  mengatakan, PBB telah bekerja sama dengan otoritas Ethiopia untuk menetapkan identitas anggotanya yang berada di dalam Ethiopian Airlines ET-320 tersebut.

Adapun World Food Program menyatakan, tujuh anggotanya meninggal dunia dalam kecelakaan itu. Sementara, enam staf kantor PBB di Nairobi juga turut menjadi korban bersama dengan staf dari Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia, dan Persatuan Telekomunikasi Internasional.

Perwakilan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, Joanne Toole yang merupakan warga negara Inggris juga menjadi korban meninggal dunia dalam kecelakaan fatal tersebut.

Korban lainnya yakni Tamirat Mulu Demessie yang bekerja untuk Save the Children. Demessie bekerja untuk membantu anak-anak yang terkena dampak kekerasan, dan membantu menyatukan kembali anak-anak dengan keluarha mereka dalam keadaan darurat.

"Dia sering mengorbankan waktu bersama keluarga dan anak-anaknya sendiri demi menjalani tugas ini. Dia memberdayakan semua orang yang bekerja dengannya untuk melakukan aksi lebih banyak bagi anak-anak yang mengalami dampak kekerasan dan meminta pertanggungjawaban pelaku," ujar seorang kolega Demessie, Lara Martin seperti dilansir New York Times.

Korban meninggal lainnya  yakni staf World Food Program, Maria Pilar Buzzetti, Virginia Chimenti, Djordje Vdovic, dan Michael Ryan. Selain itu, pendiri lembaga non pemerintah International Committee for the Development of Peoples, Paolo Dieci juga menjadi korban.

Seorang anggota Dewan Warisan Budaya dari Sisilia, Sebastian Tusa turut menjadi korban meninggal dunia. Diketahui, Tusa bepergian ke Kenya untuk menghadiri konferensi Unesco tentang perlindungan warisan budaya bawah laut di Afrika Timur.

Di sisi lain, korban meninggal dunia lainnya adalah seroang kepala eksekutif yang mengawasi Tamarind Group, Jonathan Seex. Tamarind Group merupakan perusahaan yang mengoperasikan restoran dan perusahaan perhotelan di Kenya. Sementara situs-situs berita Cina mengatakan, delapan warga negara Cina yang terdiri dari pebisnis dan turis juga menjadi korban.

The Global Times melaporkan, seorang profesor dari Institut Studi Afrika Universitas Carleton, Pius Adesanmi menjadi korban dalam kecelakaan Ethiopian Airlines ET-320. Adesanmi merupakan seorang intelektual publik terkemuka di negara asalnya, Nigeria. Ia telah menerbitkan sejumlah esai tentang politik.

Pada 2010 dia mendapatkan anugerah Penguin Prize for African untuk tulisan kategori non fiksi berjudul "You're Not a Country, Africa". Adesanmi memegang dua kewarganegaraan yakni Kanada dan Nigeria.

Mahasiswa hukum tahun ketiga Universitas Georgetown Cedric Asiavugwa juga menjadi korban tewas dalam kecelakaan tersebut. Dia pergi ke Nairobi untuk pulang ke kampung halamannya.

Asiavugwa bekerja dengan para pengungsi dan memulai sebuah organisasi berbasis komunitas untuk melindungi perempuan dan anak-anak yang melarikan diri dari konflik di Somalia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement