Ahad 24 Mar 2019 17:03 WIB

134 Etnis Fulani di Mali Tewas Dibunuh Kelompok Ekstremis

Serangan ini merupakan serangan paling berdarah.

Peta Mali. Ilustrasi
Foto: Aljazeera
Peta Mali. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO – Kelompok bersenjata melancarkan serangan kepada etnis Fulani yang menewaskan 134 orang di Mali tengah pada Sabtu (23/3) waktu setempat.

Serangan ini merupakan serangan paling berdarah di wilayah yang dikelilingi kekerasan etnis dan jihadis tersebut.

Baca Juga

Mayor kota kecil, Moulaye Guindo, mengatakan serangan dilancarkan kelompok bersenjata yang mengenakan pakaian tradisional pemburu Dogon. 

Menurutnya, kelompok bersenjata mengepung Desa Ogossagou pada pukul empat pagi, kemudian menyerang hampir semua warga yang saat itu sedang berada di rumah mereka masing-masing. "Polisi menemukan 134 korban tewas," kata dia. 

Guindo mengatakan, Desa tetangga Ogossagou, Welingara juga turut diserang, sehingga diprediksi menimbulkan korban jiwa yang lebih banyak. Sumber-sumber keamanan mengatakan korban tewas termasuk wanita hamil, anak-anak, dan orang tua.

Selama ini, bentrokan antara Dogon dan Fulani di Mali terjadi dari waktu ke waktu. Pertempuran biasanya dipicu masalah lahan, perairan atau hewan ternak. 

Dogon juga menganggap Fulani memiliki keterkaitan dengan sejumlah grup ekstremis. Sementara Fulani mengklaim militer Mali telah mempersenjatai Dogon untuk menyerang mereka.

Salah seorang warga Ogossagou yang meminta menganonimkan nama mengatakan, serangan tersebut merupakan pembalasan klaim tanggung jawab atas kelompok ekstrimis yang berafiliasi dengan  Alqaeda dalam serangan pekan lalu yang menewaskan 23 tentara. 

Kelompok tersebut mengaku bahwa menyerang markas militer sebagai balasan atas kekerasan oleh tentara dan milisi Mali terhadap Fulani.

Kelompok jihad yang terkait dengan Alqaeda dan ISIS telah mengeksploitasi persaingan etnis di Mali dan daerah tetangga, Burkina Faso, dan Niger dalam beberapa tahun belakangan. 

Mereka meningkatkan keanggotaan baru sehingga membuat sebagian besar wilayah yang hampir tak dapat dikendalikan.

Pada 2013, pasukan Prancis  melakukan intervensi di Mali untuk mendorong mundur gerakan jihadis dari gurun utara. 

Sejak itu, militan berkumpul kembali dan memerluas pasukan mereka ke Mali tengah dan negara-negara tetangga.

Sekitar 4.500 tentara Prancis tetap bermarkas di Sahel dan Mali. Amerika Serikat (AS) juga diketahui memiliki ratusan tentara di wilayah tersebut.  Serangan terjadi saat sejumlah duta besar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang berkumpul di Mali untuk membicarakan meningkatnya aksi kekerasan komunal. 

Duta besar Dewan Keamanan bertemu dengan Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita dan pejabat pemerintah lainnya pada Jumat (21/3) malam untuk membahas kekerasan dan lambatnya implementasi perjanjian perdamaian 2015 dengan kelompok-kelompok bersenjata non-Islam.

"Rasa frustrasi yang jelas di antara banyak anggota Dewan Keamanan sejalan dengan implementasi Kesepakatan Perdamaian Mali," ujar perwakilan Inggris dalam misi tersebut, Stephen Hickey, di akun Twitter.

"Dewan Keamanan bersiap untuk menjatuhkan sanksi kepada mereka yang menghalangi pelaksanaannya," Hickey menambahkan.

 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement