Kamis 04 Apr 2019 18:03 WIB

Pemimpin Sementara Aljazair Hadapi Tekanan Rakyat

Abdelaziz Bouteflika mundur dari jabatan presiden Aljazair setelah didemo rakyat.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Foto dari televisi negara ENTV menunjukkan Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika duduk di kursi roda saat mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Dewan Konstitusional Tayeb Belaiz, Selasa (2/4).
Foto: ENTV via AP
Foto dari televisi negara ENTV menunjukkan Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika duduk di kursi roda saat mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Dewan Konstitusional Tayeb Belaiz, Selasa (2/4).

REPUBLIKA.CO.ID, ALJIR — Pemerintah sementara Aljazair sedang menghadapi banyak tekanan oleh masyarakat di negara itu, setelah mantan presiden Abdelaziz Bouteflika resmi mengundurkan diri. Banyak dari mereka yang menuntut pengganti pria berusia 82 tahun itu adalah sosok yang tentunya lebih baik dalam segala hal.

“Kami menginginkan seorang presiden yang mengerti apa yang kami inginkan,” ujar Bouzid Abdoun, warga Aljazair yang berprofesi sebagai seorang insinyur di perusahaan energi negara Sonelgaz.

Baca Juga

Abdoun menuturkan bahwa banyak orang yang tetap ingin tinggal di Aljazair dan tak akan bermigrasi ke Eropa. Aljazair telah dilanda gelombang protes dalam enam pekan terakhir, di mana masyarakat menginginkan reformasi demokratis di negara itu.

Bouteflika mengakhiri jabatan setelah 20 tahun berkuasa sebagai presiden Aljazair pada Selasa (2/4). Pengunduran dirinya didorong oleh militer dan kini negara itu berada dalam kekuasaan pemerintah sementara hingga pemilihan digelar tiga bulan ke depan.

Para pengunjuk rasa telah menyuarakan penolakan jika presiden baru di negara itu berasal dari ‘le pouvoir’ atau julukan populer bagi veteran perang berusia lanjut, taipan bisnis, serta fungsionaris partai Front Pembebasan Nasional (FLN). Mereka juga mengatakan tidak menerima pemerintah sementara untuk melanjutkan kekuasaan.

“Aksi protes damai akan terus berlanjut,” ujar warga bernama Mustapha Bouchachi yang juga memimpin sejumlah aksi protes.

Sementara itu, mantan ketua partai FLN, Ali Benflis mengatakan sejumlah tokoh penting di Aljazair harus mundur. Mereka di antaranya adalah ketua majelis tinggi yang mendukung Bouteflika, Abdelkader Bensalah, perdana menteri sementara Noureddine Bedoui, dan ketua dewan konstitusi Tayeb Belai.

“Warga Aljazair baru saja menutup salah satu bab paling kelam dalam sejarah negara ini,” ujar Benflis.

Pengunjuk rasa secara khusus menolak Bedoui untuk melanjutkan kekuasaan dalam pemerintahan Aljazair. Banyak yang melihat dirinya sebagai pendukung lingkaran kekuasaan. Saat menjadi menteri dalam negeri, ia juga dinilai telah mengawasi pemilihan agar tidak berjalan secara bebas dan adil.

Aljazair telah dilanda gelombang protes besar-besaran, di mana warga melakukan demonstrasi menuntut Bouteflika mundur dari jabatannya. Setelah memimpin negara tersebut selama 20 tahun, dia berencana mencalonkan diri kembali menjadi presiden.

Demonstrasi yang semakin tak terkendali, ditambah hilangnya dukungan dari militer, memaksa Bouteflika mengundurkan diri. Dewan Konstitusi Aljazair telah menerima pengunduran dirinya. Dewan juga telah mengumumkan kepada parlemen jabatan presiden secara resmi kosong.

Dalam pidato perpisahannya, Bouteflika meminta maaf kepada rakyat dan rekan-rekan pemerintahan atas kegagalan yang dilakukan selama ini. Ia mengucapkan selamat tinggal dan sekaligus berterima kasih kepada warga Aljazair dalam 20 tahun terakhir.

“Aljazair akan memiliki presiden baru dan saya berdoa agar tuhan akan membantunya mengejar ambisi dan harapan anak-anak pemberani," ujar Bouteflika.

Bouteflika menjadi salah satu pemimpin negara yang tetap berhasil berkuasa saat Arab Spring atau Musim Semi Arab terjadi pada 2011. Dalam gerakan tersebut, sejumlah pemimpin di negara-negara Timur Tengah, khususnya di sekitar Aljazair ditumbangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement