Selasa 16 Apr 2019 09:34 WIB

Haftar Berusaha Kudeta Pemerintahan di Libya

Khalifa Haftar memimpin pasukannya untuk menggulingkan pemerintahan di Tripoli.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Jenderal Khalifa Haftar
Foto: Reuters/Esam Omran Al-Fetori
Jenderal Khalifa Haftar

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Utusan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salame mengatakan Khalifa Haftar berusaha melakukan kudeta dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan Perdana Menteri Fayez al-Serraj. Kedua orang yang bersaing memperebutkan Libya itu tertahan dalam konfrontasi militer di Tripoli. 

Sejak dua pekan yang lalu Pasukan Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Haftar berusaha menggulingkan pemerintahan sah di Tripoli. LNA memprediksi ada pembelotan di kubu Serraj dan meraih kemenangan dalam dua hari. 

Baca Juga

Tapi Serraj yang diakui pemerintahan internasional berhasil meredam LNA di pinggir kota Tripoli. Sebagian besar karena faksi-faksi kelompok bersenjata di sebelah barat negara itu dengan cepat memberikan bantuan ke Serraj. 

Haftar mantan jenderal Moammar Gaddafi telah membangun tentaranya dan melakukan serangan udara dengan alasan untuk menghancurkan kelompok teroris Islam. Tapi menurut Salame di BBC Radio, surat penangkapan yang dikeluarkan Haftar lebih 'terdengar sebagai sebuah kudeta daripada kontra-terorisme'. 

Kubu Haftar sudah mengkonfirmasi tentang surat penangkapan tersebut. Pemerintah Serraj mengatakan dengan tegas mereka menolaknya.  

Para diplomat yakin pendukung-pendukung Haftar seperti Uni Emirat Arab, Mesir dan Prancis tidak menekannya untuk mundur. Para pendukung Haftar melihat jenderal 75 tahun itu sebagai upaya untuk mengakhiri kekacauan antara faksi yang terjadi di Libya setelah Gaddifi digulingkan pada tahun 2011 lalu. 

Karena serangan LNA, Salame menunda rekonsiliasi nasional yang harusnya digelar pada pekan ini. Ia berharap dalam beberapa hari ke depan kedua belah pihak sadar tidak ada yang dapat meraih kemenangan dalam konfrontasi militer ini. 

"Sebenarnya kami sedang berada dalam kebuntuan militer sejak delapan atau sembilan hari yang lalu," kata Salame, Selasa (16/4).

Salame menambahkan kedua belah pihak sudah melancarkan 30 kali serangan udara. Tapi hal itu tidak mengubah situasi di daratan. Serangan udara telah menghancurkan infrastruktur sipil dan rumah-rumah warga terutama di sebelah selatan Tripoli dimana pasukan Haftar berusaha menembus pertahanan pemerintahan Tripoli. 

Badan Kemanusiaan PBB OCHA mengatakan menyerang fasilitas sipil adalah pelanggaran hukum kemanusiaan internasional. Misi PBB di Libya (UNSMIL) juga memperingatkan hal itu. 

"Membom sekolah, rumah sakit, ambulan dan wilayah sipil sangat tidak diperbolehkan," kata pernyataan UNSMIL. 

Mereka juga sudah mendokumentasikan kasus-kasus itu untuk diberikan ke Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat juga memberikan perhatian terhadap serangan yang membuat warga sipil menjadi korban. 

"Kami prihatin dengan meningkatnya korban sipil, kami prihatin dengan kerusakan infrastruktur vital warga sipil," kata Pelaksana Tugas Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Timur Dekat, David Satterfield.

Pemerintah Tripoli mengatakan pada hari Sabtu (13/4) lalu serangan udara pasukan Haftar menghantam sebuah sekolah. Pada Ahad (14/3) lalu dua buah rudal juga menghantam gudang Kementerian Pendidikan. Pemerintah Tripoli mengatakan hantaman dua rudal tersebut menghancurkan 3,1 juta buku sekolah. 

Dalam ciutannya di Twitter, OCHA juga mengatakan lima juta buku dan hasil ujian nasional hancur dalam tembakan rudal tersebut. Satu blok perumahan warga juga hancur oleh tembakan rudal. 

Beberapa keluarga yang berada di dalam rumah mereka berhasil menyelamatkan diri dan hanya terluka ringan. Sepatu anak-anak, roti, dan pecahan roket tergeletak di lantai. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas serangan ke perumahan warga. 

Lebih dari 18 ribu orang mengungsi sejak pertempuran itu dimulai. Badan Imigrasi PBB mengatakan dalam 24 jam ada 2.500 orang yang mengungsi untuk melarikan diri dari pertempuran tersebut. 

World Health Organization (WHO) mengatakan sebanyak 150 orang tewas dalam pertempuran ini, sebagian besar diantaranya adalah pasukan kedua belah pihak. WHO juga mengatakan pertempuran itu telah melukai 600 orang lebih. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement