Sabtu 08 Jun 2019 14:18 WIB

Perdana Menteri Ethiopia Jembatani Militer-Oposisi di Sudan

Perdana Menteri Ethiopia gelar pertemuan terpisah dengan dua kubu di Sudan.

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed
Foto: EPA-EFE/STR
Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM— Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, mengadakan pembicaraan terpisah dengan para pemimpin militer dan oposisi di Khartoum pada Jumat (8/6) dalam usaha meredakan krisis politik yang terjadi setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir.

Prakarsa Ethiopia itu diambil setelah terjadi pertumpahan darah di Sudan sejak Bashir digulingkan oleh militer pada April. Aksi-aksi unjuk rasa berlangsung selama empat bulan menentang pemerintahan Bashir yang represif.

Baca Juga

Kelompok oposisi mengatakan 113 orang tewas dalam penyerbuan kamp protes warga sipil pada Senin dan kemudian terjadi penindakan keras terhadap para pengunjuk rasa. Pemerintah menyebutkan sedikitnya 61 orang tewas, termasuk tiga personel keamanan.

Di Bandara Khartoum, PM Abiy disambut Letnan Jenderal Shams El Din Kabbashi, juru bicara Dewan Militer Transisi yang memerintah Sudan.

Abiy kemudian mengadakan pertemuan di Kedutaan Besar Ethiopia dengan aliansi Deklarasi Kekuatan Kebebasan dan Perubahan yang beroposisi.

"Dia menyatakan komitmen Ethiopia untuk memelihara perdamaian di kawasan dan menggarisbawahi bahwa prasyarat bagi pemulihan perdamaian di Sudan ialah persatuan," kata kantor Abiy.

Kedua pihak di Sudan sudah berunding selama beberapa pekan mengenai siapa seharusnya memimpin transisi Sudan menuju demokrasi. Tetapi perundingan-perundingan yang sudah goyah menemui jalan buntu setelah tindakan keras diambil pekan ini.

PM, yang naik ke tampuk kekuasaan di Ethiopia tahun lalu dan memberlakukan reformasi politik dan ekonomi, memperoleh pujian atas kemampuan diplomasinya, termasuk mengupayakan perdamaian dengan Eriteria, tetangga dan musuh lamanya.

Uni Afrika pada Kamis menangguhkan keanggotaan Sudan hingga pemulihan pemerintahan sipil, meningkatkan tekanan global atas para pemimpin militer agar mundur. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan beberapa pemerintahan juga mengutuk pertumpahan darah itu.

 

sumber : Reuters/Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement