Selasa 19 Jun 2018 03:50 WIB

Ivan Duque Menangi Pilpres Kolombia

Ivan Duque meraup suara sebanyak 53,9 persen dalam pemilihan putaran kedua

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Kolombia
Bendera Kolombia

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Masyarakat Kolombia memiliki presiden baru dalam pemilihan umum negaranya pada Ahad (17/6) lalu. Ivan Duque seorang neofit konserfatif menang setelah kampanye panjang akan kesepakatan damai yang sempat memecah belah negaranya yang menjadi pusat perdamian yang kontroversial dengan pemberontak sayap kiri pasukan bersenjata revolusioner Kolombia (Farc).

Duque, penentang kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak itu, menang dalam pemilihan putaran kedua pada Ahad (17/6) dengan 53,9 persen suara. Lawannya, mantan walikota Bogota, Gustavo Petro merupakan seorang militan sayap kiri yang membela proses perdamaian dengan kelompok Farc.

Meskipun Deque merupakan presiden pertama pada posisi sayap kiri dalam sejarah konserfatif, ia sempat kalah pada malam itu dengan suara 41,8 persen.

Sebelumnya, banyak orang khawatir akan nasib perjanjian damai yang pudar yang ditandatangani dengan Farc pada tahun 2016 silam. Dengan nterpilihnya Deque, secara resmi mengakhiri 52 tahun perang saudara yang menewaskan 220 ribu orang dan tujuh juta orang mengungsi.

Kesepakatan itu awalnya gagal untuk lulus referendum. Sehingga pemilih marah dengan jaminan hukuman yang lebih lunak untuk pemimpin pemberontak Farc dan ada kursi dijamin di kongres.

Kemudian kesepekatan diubah dan diratifikasi oleh para pembuat undang-undang, sehinggan hal itu diklaim sebagai suatu tindakan yang dianggap tidak demokratis. Pada Ahad keamrin, akhirnya memberi masyarakat kesempatan lain untuk menyuarakan kegelisahan mereka itu.

Pemimpin masa perang oleh Farc, Rodrigo Londoo, memposting sebuah status pada media sosial twitter resminya. "Kami telah menjalani pemilihan paling tenang selama beberapa dekade terakhir, proses perdamaian menghasilkan buah. Ini adalah momen kebesaran dan rekonsiliasi, kami menghormati keputusan mayoritas dan kami mengucapkan selamat kepada presiden baru. Sekarang untuk bekerja, jalan harapan terbuka," tulis Rodrigo dalam akun Twitternya seperti dikutip The Guardian, Senin (18/6).

Pada masa kampanyenya, Duque berjanji untuk memodifikasi komponen paling kontroversial dari kesepakatan tersebut, yang merupakan sesuatu yang selaras dengan pemilih. "Saya memilih untuk van Duque," kata Marcelo Rodrguez, mengenakan seragam sepakbola Kolombia.

"Saya ingin kedamaian tetapi kita tidak bisa memilikinya tanpa keadilan," kata dia di kawasan Bogota tempat pemungutan suara.

Sementara pemilih lain, di tempat pemungutan suara kurang yakin. "Mengubah kesepakatan sama dengan merobeknya," kata Andrea Gmez, seorang mahasiswa. "Beberapa orang di Kolombia tidak akan bahagia tanpa perang."

Duque yang akan berusia 42 tahun sebelum menjabat pada 8 Agustus mendatang, akan menjadi presiden termuda Kolombia. Meskipun partainya, Partai Demokrat, memiliki koalisi di Kongres, dia juga memiliki dukungan dari beberapa pemimpin industri.

Kebijakan ekonomi Duque yang ramah pasar mengimbau para pemilih di dekat perbatasan Venezuela, meskipun pemilih yang lebih muda dan lebih moderat khawatir tentang kebijakan sosial konservatifnya yakni dari kebijakan narkoba dan kejahatan hingga aborsi.

Kampanye tersebut panjang dan buruk, dengan polarisasi mencolok terungkap di babak pertama ketika Duque dan Petro melenyapkan segelintir rival yang lebih moderat. Kini, pekerjaan Duque akan membangun jembatan antara Kolombia yang terbagi atas ideologi dan proses perdamaian, dengan hasil terburuk adalah perang saudara.

"Polarisasi adalah hal biasa dalam politik di seluruh dunia. Tapi di sini, di mana ada sejarah konflik bersenjata internal, itu bisa menjadi hal yang berbahaya," ujar Pedro Piedrahita Bustamente, seorang profesor ilmu politik di Universitas Medelln.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement