Jumat 20 Jul 2018 05:04 WIB

Trump Tolak Keinginan Putin Interogasi Warga AS

Putin menawarkan pertukaran interogasi terkait intelijen Rusia.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Nur Aini
Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) bersalaman dalam pertemuan di Helsinki, Senin (16/7).
Foto: ABC News
Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) bersalaman dalam pertemuan di Helsinki, Senin (16/7).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menolak permintaan Presiden Rusia Vladimir Putin agar bisa mewawancarai warga AS. Setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) mereka di Helsinki, Putin mendeskripsikan permintaan itu ketika ditanya kemungkinan ekstradisi 12 perwira intelijen Rusia yang didakwa atas tuduhan ikut campur dalam pemilihan presiden AS pada 2016.

Permintaan yang dijelaskan Putin adalah mengizinkan penegak hukum AS untuk menginterogasi intelijen Rusia dengan imbalan membiarkan penyelidik Rusia menanyai orang-orang AS mengenai hal-hal lain. Ia menyebutkan sebuah kasus yang melibatkan pemodal berbasis di London, Bill Browder.

“Proposal ini dibuat dengan tulus oleh Presiden Putin. Tetapi, Presiden Trump tidak setuju dengan itu,” kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders dalam sebuah pernyataan, seperti yang dikutip dari Reuters, Kamis (19/7).

“Semoga Presiden Putin akan meminta 12 orang Rusia yang teridentifikasi datang ke Amerika Serikat untuk membuktikan mereka tidak bersalah,” ujarnya.

Sebelumnya, Trump  juga meminta  Putin bertanggung jawab atas dugaan intervensi negaranya dalam pilpres AS 2016. Pernyataan Trump itu bertolak belakang bila dibandingkan saat bertemu Putin di Helsinki, Finlandia, pada Senin lalu.

"Sama seperti saya menganggap diri saya bertanggung jawab atas hal-hal yang terjadi di negara ini. Jadi tentu saja sebagai pemimpin suatu negara Anda harus membuatnya (Putin) bertanggung jawab," kata Trump ketika ditanya apakah dia akan meminta Putin bertanggung jawab atas dugaan keterlibatan Rusia dalam pilpres AS dalam sebuah wawancara dengan CBS pada Rabu (18/7), dikutip laman kantor berita Rusia TASS.

Baca: Pengungsi Rohingya Ungkap Kekerasan Berlanjut di Myanmar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement