Rabu 22 Aug 2018 12:47 WIB

Ratusan Warga Venezuela Masuki Ekuador Secara Ilegal

Sepanjang tahun ini, sudah 423 ribu warga Venezuela yang memasuki Ekuador

Garda Nasional Venezuela mengawasi warga yang mengantre untuk menyeberang dari Venezuela menuju Kolombia melalui jembatan Simon Bolivar di San Antonio del Tachira, Venezuela, 24 Januari 2018.
Foto: REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
Garda Nasional Venezuela mengawasi warga yang mengantre untuk menyeberang dari Venezuela menuju Kolombia melalui jembatan Simon Bolivar di San Antonio del Tachira, Venezuela, 24 Januari 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, IPIALES -- Lebih dari 200 warga Venezuela memasuki wilayah Ekuador secara ilegal pada Selasa (21/8). Ratusan warga Venezuela ini mengungsi akibat krisis politik dan ekonomi yang melanda tanah air mereka.

Para pengungsi itu akan meneruskan perjalanan sampai ke Peru sebelum pemerintah Lima menerapkan pengetatan syarat masuk mulai Sabtu (25/8) depan. Sepanjang tahun ini, sudah 423 ribu warga Venezuela yang memasuki Ekuador melalui daerah perbatasan Rumichaca di dekat Kota Ipiales, Kolombia.

Menanggapi situasi tersebut, Ekuador mulai Sabtu (18/8) lalu mengetatkan aturan masuk dengan mewajibkan para pendatang untuk menunjukkan paspor. Aturan tersebut berbeda dari sebelumnya yang hanya membutuhkan kartu identitas. Peru akan memberlakukan hal yang sama mulai Sabtu (25/8) ini.

Ratusan migran memulai perjalanan mereka beberapa hari yang lalu dengan menaiki bus dan berjalan kaki. Mereka memasuki pos pemeriksaan Rumichaca pada Selasa.

Puluhan polisi Ekuador yang berjaga di sana hanya bisa melihat dan tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan laju para pendatang. "Kami ingin Ekuador membantu kami meneruskan perjalanan ke Peru, di mana kami bisa bekerja," kata Yorian Alcides Gamez, seorang migran dari Venezuela yang datang bersama ratusan warga lainnya.

Mereka berencana berjalan kaki dan menumpang kendaraan sejauh 840 km dalam cuaca dingin untuk mencapai perbatasan Peru. "Kami berjalan kaki ke Peru," kata Antony Vinales (23) yang turut dalam rombongan yang sama.

Para pendatang itu awalnya berencana bekerja secara legal di Ekuador, Peru, dan Chile, hanya dengan modal kartu tanda penduduk Venezuela. Mereka tidur dalam tenda dan di pinggir jalan.

Kondisi para migran memburuk akibat cuaca yang semakin dingin dan menipisnya cadangan uang untuk membeli makanan. Perselisihan juga mulai pecah karena mereka kecewa dengan Ekuador.

"Kami sangat kecewa. Kami merasa sendirian dan putus asa. Kami tidak menduga Pemerintah Ekuador akan melakukan ini pada kami, dan tidak membalas perbuatan baik yang pernah kami lakukan saat mereka membutuhkannya," kata Deisy Santana, insinyur berusia 48 tahun.

"Beberapa orang berjalan kaki selama 30 hari sehingga kaki mereka terluka parah," kata dia.

Kementerian Luar Negeri dan Dalam Negeri Ekuador hingga kini belum memberi pernyataan terkait situasi tersebut.

Di Venezuela, perekonomian terus memburuk dibarengi dengan gelombang demonstrasi menentang pemerintahan Presiden Nicolas Maduro yang beralasan bahwa dirinya adalah korban "perang ekonomi" Amerika Serikat untuk menjatuhkan dirinya.

Krisis di Venezuela membuat banyak orang berduyun-duyun datang ke perbatasan untuk mencari pekerjaan, makanan, dan obat-obatan. Pada awalnya, pemerintahan di negara-negara kawasan Amerika Latin menyambut baik para pendatang karena masih ingat peran Venezuela yang melayani para pengungsi konflik pada masa lalu.

Namun semakin membesarnya gelombang eksodus membuat negara-negara itu mengalami kesulitan. Di Brasil, para warga lokal sempat mengamuk dan mengusir para migran pada Selasa usai terjadinya insiden penusukan dan pemukulan oleh pendatang.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement