Jumat 04 Jan 2019 12:44 WIB

Ekonomi AS Mulai Terpukul Perang Dagang

Perang dagang AS dan Cina menurunkan penjualan Apple dan Cargill.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Seri Apple iPhone seri X (ilustrasi)
Foto: Republika TV/Surya Dinata Irawan
Seri Apple iPhone seri X (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menurunnya penjualan produk-produk raksasa teknologi Apple dan raksasa pertanian Amerika Serikat (AS) Cargill menjadi tanda perang dagang yang dilakukan Presiden AS Donald Trump dengan Cina mulai menunjukkan dampaknya di Negeri Paman Sam itu. Dengan meningkatnya kerapuhan pertumbuhan ekonomi global perang dagang juga membuat AS terisolasi. 

Apple yang disukai karena gadgetnya yang ramping mengalami penurunan penjualan pada kuartal terakhir karena penjualan mereka yang menurun di Cina. Pada Kamis, (3/1) kemarin perusahaan pertanian AS Cargill juga mengumumkan penjualan mereka di Cina tidak sesuai dengan ekspektasi. 

Sebagai perekonomian terbesar nomor dua di dunia yang tumbuh 6 persen tahun lalu, Cina mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi selama beberapa bulan terakhir ini. Perlambatan yang paling parah sejak krisis finansial pada 2008 lalu. 

Perang dagang AS-Cina mengancam harapan banyak pemimpin bisnis dan ekonomi. Sebab, sebelum perang dagang banyak yang berharap pertumbuhan ekonomi Cina meningkatkan daya beli konsumen mereka yang dapat selaras dengan pertumbuhan ekonomi global. 

Tajamnya penurunan dan pelemahan pertumbuhan ekonomi di Cina dan negara-negara lainnya juga mengancam konsumen AS. Masalahnya dua pertiga aktivitas ekonomi AS berasal dari pengeluaran rumah tangga. 

"Ada ketidakkonsistenan antara AS sebagai lokomotif dunia dan kebijakan pemerintah Trump yang bertujuan untuk menurunkan defisit perdagangan. Itulah alasan lain mengapa hal ini akan menjadi tantangan bagi konsumen AS yang bertindak sebagai lokomotif dunia," kata Kepala Ekonom Citi, Catherine Mann, Jumat (4/1). 

Mantan ekonom di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) itu juga mengatakan ia melihat ada keseimbangan antara aktivitas domestik yang menguat dan aktivitas eksternal yang melemah di Amerika Serikat, Jerman, dan negara-negara lain. Menurut Mann, kebijakan ekonomi Cina yang efektif juga telah mengubah lalu lintas perekonomian dunia. 

Penggerak pertumbuhan AS lainnya, termasuk pengeluaran pemerintah dan bisnis juga terus merosot. Penurunan ini diprediksi akan berlanjut selama beberapa bulan ke depan. Tapi sebagai perekonomian nomor satu di dunia pertumbuhan ekonomi AS diprediksi yang perlahan-lahan menguat pada 2018, akan tetap kuat sampai pertengahan 2020. 

Para ekonom memprediksi pertumbuhan AS tetap bertahan di angka 1,9 persen. Pada Oktober lalu, International Monetery Fund (IMF) melihat adanya perang dagang yang tak kunjung selesai mereka memangkas proyeksi pertumbuhan global mereka menjadi 3,7 persen. Sementara di bulan Desember, Citi memprediksi pertumbuhan global di angka 3,1 persen. 

Pada tahun lalu, banyak pemimpin dunia dan bisnis yang menyatakan pertumbuhan ekonomi akan berjalan serentak. Tapi seiring waktu perekonomian dunia semakin fluktuatif. AS memaksakan diri memotong pajak dan pengeluaran pemerintah semantara masyarakat internasional dengan sinis menanggapi hal itu. 

Di tengah ketidakpastian dunia bisnis juga menahan diri untuk melakukan investasi jangka panjang. Sementara, seluruh pemerintahan di dunia kesulitan dalam mengkombinasikan tingginya utang dengan kebutuhan infrastruktur. 

Karena FED menaikan suku bunga, banyak investor AS yang keluar dan pindah ke berbagai pasar lainnya. Hal itu yang menghantam negara-negara pasar berkembang termasuk Indonesia dan juga membuat volatilitas di bursa saham AS semakin menyebar. 

Para analis menilai aksi jual saham yang terjadi selama berbulan-bulan menunjukkan kekhawatiran atas resesi ekonomi yang tertunda. Harga saham Apple turun 9,96 persen pada hari Kamis (4/1). Turun ke level terendah sejak pertengahan 2017 lalu. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement