Kamis 14 Feb 2019 20:49 WIB

Lika-Liku Keluarga Pengungsi Irak di Negeri Asal Paman Sam

Perang Iran-Irak berdampak pada banyak keluarga Irak di daerah pengungsian.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Wesaam (tengah) saat mencukur rambutnya
Foto: The New York Times
Wesaam (tengah) saat mencukur rambutnya

REPUBLIKA.CO.ID, LINCOLN – Perang acap kali menimbulkan korban dan kesengsaraan terhadap penduduknya. 

Kisah pengungsi asal Irak, Wesaam Al-Badry, memperlihatkan potret kesengsaraan yang membuat ia dan keluarganya harus merantau jauh dari negara asalnya. 

Perang Iran-Irak yang terjadi pada 1980-1988 telah memberikan dampak pada kehidupan keluarga Wesaam dan banyak pengungsi lainnya.

Wesaam mengingat betul kenangan pedih yang masih menancap kuat di benaknya hingga saat ini, yaitu saat ia mengunjungi ayahnya, Sattar, di sebuah penjara di Irak.  

Sang ayah dipenjara dan disiksa rezim berkuasa kala itu lantaran menjadi seorang pasifis yang menolak untuk berperang dalam perang Iran-Irak. Setidaknya ada 20 tahanan lain di sel yang sama. Wesaam mengingat betul saat ayahnya memeluknya di pangkuannya.  

Sempat terpisahkan dari sang ayah, Wesaam hidup bersama ibunya yang membesarkan lima anaknya di tengah kemiskinan di kota An-Nashiriyah di Irak. Mereka berupaya menghindar dari Perang Teluk saat mendekati 1991. 

Selama bertahun-tahun lamanya mereka tinggal di kamp pengungsi. Kelaparan sudah menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari mereka kala itu. 

Hingga akhirnya, mereka diberikan status pengungsi di Amerika Serikat. Wesaam dan keluarganya kemudian tinggal di sebuah gedung apartemen yang kumuh di dekat rel kereta api dan pabrik plastik di Lincoln, Nebraska, Amerika Serikat. 

Di Lincoln, anggota keluarga Wesaam yang kini terdiri dari tujuh anak dan orang tuanya berjuang untuk menyesuaikan diri. Saat tiba di Amerika, Wesaam berusia 11 tahun dan tidak bisa berbahasa Inggris. Karena itu, wajar jika ia kesulitan untuk menyesuaikan diri.  

Sementara sang ayah mendapat pekerjaan sebagai sopir truk di sebuah perusahaan percetakan. Namun, sang ayah berpisah dengan ibunya, Aeda Al-Khafaji, empat tahun setelah mereka tiba di Lincoln. 

Meski sosok ayah sudah tak lekat di keluarganya, Aeda berupaya menyatukan keluarga. Mereka tinggal di perumahan bersubsidi dan mengandalkan bank makanan. Wesaam, sebagai anak tertua, bekerja di sebuah restoran pizza. 

Sebagai orang asing, Wesaam akhirnya bergaul dengan pengungsi lainnya yang berasal dari Bosnia, Serbia, Sudan, dan Somalia. 

Wesaam kerap menerima intimidasi. Perlakuan yang diterimanya membuatnya kerap bolos sekolah dan bertengkar dengan temannya. 

Wesaam mengatakan, sebagian anggota keluarganya juga menderita. Tetapi, mereka tidak pernah berbicara tentang masalah mereka. 

Ia menyadari, perilakunya yang nakal itu juga merupakan dampak dari tekanan pasca trauma dari perang dan tinggal di kamp pengungsian.  

Wesaam memiliki beberapa saudara perempuan, termasuk Shams (27), Zeinab (26), dan Shanon (23). Ketiga adiknya itu kini telah mengenyam kuliah dan menjalani kehidupan sukses serta aktif di komunitas mereka.  

photo
Potret keluarga besar Wesaam/ The New York Times

Berbeda dengan saudara perempuannya, Wesaam dan saudara lelakinya memang menjalani kehidupan yang lebih kasar. 

Delapan tahun setelah sekolah menengah, Wesaam bekerja di sebuah pabrik pengepakan daging, rumah jagal, pabrik pencetak logam, dan pemindahan asbes. Ia juga kerap pergi ke bar usai bekerja dan meneguk minuman keras. 

Saudaranya, Hussam (34), bekerja di sebuah pabrik pelapisan logam. Ia memiliki dua anak perempuan. Menurut Wesaam, kakaknya itu jarang berbicara tentang pengalamannya.  

Sedangkan saudara lainnya, Abbas (29), kerap menghabiskan waktunya untuk berpesta. Abbas juga pernah mendekam di balik jeruji besi lantaran menjual kokain dan kini tengah menjalani rehabilitasi narkoba.  

Kehidupan keras yang dijalani Wesaam membuatnya berupaya untuk bangkit. Pada 2008, Wesaam mengikuti minat lamanya dalam fotografi. 

Ia lantas membeli kamera digital dan mulai membuat esai foto tentang ibunya dan teman-teman wanitanya di Irak. 

Foto-foto tersebut ia unggah di sejumlah situs web, termasuk Kansas City Star. Satu foto di antaranya digunakan dalam kampanye pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).  

Selama 23 tahun sejak kedatangannya di Amerika, Wesaam kini menjadi seorang fotografer di sekolah pascasarjana. Istri Wesaam, Maliha Zuberi, mendorongnya untuk kuliah di San Francisco Art Institute. 

Sehingga, Wesaam bisa meraih BFA di bidang seni rupa. Ia kemudian mengikuti sekolah jurnalisme di Berkeley. Wesaam lantas mendokumentasikan pengalaman pengungsi keluarganya di Nebraska. 

"Tidak ada keluarga yang sempurna, tetapi keluarga saya sempurna untuk saya," ungkapnya, seperti dilansir di The New York Times, Kamis (14/2).

Bagi Wesaam, kehidupan masa lalunya menjadikannya pribadi yang kuat. Ia bangkit dan berusaha menyembuhkan luka masa lalunya dan keluarganya. 

"Saya melihat penyembuhan dimulai karena saya benar-benar bertanya kepada keluarga saya apa yang terjadi pada mereka, sesuatu yang tidak akan pernah saya lakukan di masa lalu. Ini proses yang lambat, tapi juga menyembuhkan bagi saya," ujarnya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement