Sabtu 23 Feb 2019 01:52 WIB

AS Paksa Uni Eropa Bahas Pertanian

Tekanan ini menjadi langkah terbaru AS agar Uni Eropa memasukan produk pertanian

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Bendera Amerika Serikat
Bendera Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) meningkatkan tekanan kepada Uni Eropa untuk membahas pertanian yang sudah lama menjadi persoalan kedua kawasan. Tekanan ini menjadi langkah terbaru AS agar Uni Eropa memasukan produk pertanian dalam pembicaraan perdagangan mereka.

Negosiator Uni Eropa mengatakan mereka tidak ingin memasukan pertanian dalam pembicaran bilateral. Salah satu dari serangkaian pembicaraan yang dilakukan AS demi mendapatkan kesepatan dagang yang lebih baik. Pada pekan ini para negosiator AS juga akan melakukan pembicaraan dengan Jepang  dan Cina di Washington.

Di forum Departemen Pertanian AS, Kepala Negosiator bidang Pertanian di Kantor Perwakilan Dagang AS Gregg Doud mengatakan 'sudah saatnya' untuk Uni Eropa 'mengikuti program' dalam isu bioteknologi atau bahan rekayasa genetika (GMO).

"Saya tidak mengungkapkan rasa frustasi saya dengan pertanian Eropa dan cara mereka menangani hal seperti bioteknologi, cara mereka menangani hal seperti hormon daging sapi," kata Doud, Jumat (22/2).

Amerika Serikat mengatakan proses persetujuan bioteknologi di Uni Eropa memperlambat Inovasi. Tapi sebenarnya hal tersebut membatasi pasar Amerika ke Eropa.

"Anda tanya politisi mereka, dan mereka akan mengatakan 'Ya mungkin saya harus periska ke Greenpeace sebelum menjawabnya'," kata Doud.

Undersecretary for Trade and Foreign Agricultural Affairs di Departemen Pertanian AS Ted McKinney mengatakan regulasi Uni Eropa sudah siap untuk diubah. Keduanya menekankan pentingnya pembicaraan AS dengan Jepang.

Petani-petani AS terpukul dengan perubahan kebijakan perdagangan Donald Trump. Pemerintahnya yang menggunakan tarif impor untuk melakukan pembicaraan kesepakatan dagang telah mendorong pembalasan terutama di produk pertanian. Tarif kedelai, sorgum dan ethanol yang dinaikan Cina membuat permintaan atas komoditas tersebut berkurang.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement