Jumat 01 Feb 2019 08:54 WIB

UNHCR: 5.000 Orang Tinggalkan Venezuela Setiap Hari

Rakyat Venezuela meninggalkan negaranya akibat krisis ekonomi dan politik.

Red: Nur Aini
Ratusan orang menggelar aksi damai di berbagai kota di Venezuela sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.
Foto: EPA
Ratusan orang menggelar aksi damai di berbagai kota di Venezuela sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.

REPUBLIKA.CO.ID, CARACAS -- Juru bicara Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan hampir 5.000 orang meninggalkan Venezuela setiap hari.

Dalam satu taklimat di Markas Besar PBB, New York, Joung-ah Ghedini-Williams, mengatakan rakyat Venezuela meninggalkan negeri mereka akibat "kondisi yang tidak stabil dan tidak menentu" di tengah krisis mengenai kepresidenan.

"Brazil, Kolombia, Ekuador, dan Peru masih menjadi negara yang menerima jumlah paling banyak warga negara Venezuela," kata Ghedini-Williams, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu. Data UNHCR memperlihatkan tiga juta orang Venezuela telah meninggalkan negeri tersebut sejak 2015.

Pekan lalu, Juan Guaido, Ketua Majelis Nasional Venezuela yang dipimpin oleh oposisi, mengumumkan diri sebagai presiden. Tindakan itu segera didukung oleh Presiden AS Donald Trump, Kanada, dan kebanyakan negara Amerika Latin.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro dengan cepat bereaksi, dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Washington serta menuduh AS mendalangi kudeta terhadap pemerintahnya. Venezuela telah diguncang protes sejak 10 Januari, ketika Maduro diambil sumpahnya untuk masa jabatan kedua.

Segera setelah demonstrasi dan kerusuhan meletus di Venezuela, sedikitnya 268 pemrotes telah ditangkap di seluruh negeri itu sejak 21 Januari. Tujuh wartawan juga telah ditangkap di Venezuela setelah demonstrasi di Ibu Kota Venezuela, Karakas, demikian laporan media setempat pada Kamis (31/1).

Menurut kantor berita nasional Spanyol, EFE, seorang juru kamera Kolombia yang bekerja untuk kantor berita tersebut yang pergi untuk meliput peristiwan itu di seluruh negeri hilang pada Rabu pagi di ibu kota Venezuela. Kantor berita tersebut menyatakan ia telah ditangkap oleh penguasa Venezuela bersama dengan dua rekannya yakni satu warga negara Spanyol dan satu Kolombia.

Gonzalo Dominguez Loeda dari Spanyol dan warga negara Kolombia, Mauren Barriga Vargas juga ditangkap di kantor EFE oleh Dinas Intelijen Bolivaria, SEBIN. Sementara itu, Leonardo Munoz ditangkap oleh Direktorat Kontra-Intelijen Militer, tambah laporan EFE.

Saat mengomentari peristiwa itu, Menteri Luar Negeri Kolombia Carlos Holmes Trujillo mengatakan negaranya "menolak penahanan kedua wartawan dan juru foto kantor EFE tersebut secara sewenang-wenang".

"Kami menuntut pembebasan segera dan dihormatinya nyawa mereka," kata Trujillo di satu cuitan.

Menteri Luar Negeri Venezuela Jorge Arreaza membela pemerintah negerinya, dan mengatakan beberapa wartawan memasuki Venezuela tanpa izin kerja dan sebagian berusaha memasuki istana presiden tanpa akreditasi.

"Seperti di negara lain di dunia, wartawan tak bisa membuat akreditasi sendiri," kata Arreaza di akun Twitter.

"Kantor berita dan media internasional mengetahui bahwa untuk menghindari ketidak-nyamanan yang tidak perlu, mereka harus menyelesaikan prosedur yang diperlukan di konsulat sebelum mereka melakukan perjalanan ke negeri ini," ujarnya.

Serikat Pekerja Pers Nasional Venezuela (SNTP) mengumumkan dua wartawan Prancis juga ditangkap pada Rabu di dekat Istana Presiden Miraflores di Karakas, sementara dua wartawan Cile dideportasi.

photo
Infografis: Krisis politik Venezuela

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement