Senin 10 Feb 2014 17:14 WIB

Istri Polisi Thailand Ditembak Mati dan Dibakar

Bendera Thailand
Foto: blogspot.com
Bendera Thailand

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Seorang istri polisi ditembak mati dan kemudian dibakar di depan para pembeli yang ketakutan di sebuah pasar yang ramai di pedalaman Thailand selatan yang sarat kekerasan, kata para pejabat Senin dalam sebuah serangan balas dendam.

Wanita Buddhis 28 tahun itu ditembak mati pada Minggu sore saat ia kembali ke mobilnya dari pasar di daerah Ratapanyang, Provinsi Pattani.

Seorang polisi setempat mengatakan, catatan yang tertinggal di lokasi kejadian menunjukkan serangan adalah balas dendam atas kematian minggu lalu terhadap tiga anak bersaudara Muslim - berusia tiga, lima dan sembilan tahun.

Para gerilyawan menyalahkan pemerintah Thailand atas pembunuhan anak laki-laki itu - meskipun belum ada bukti resmi yang mendukung klaim tersebut.

Pembunuhan terbaru meningkatkan momok lingkaran saling-bunuh antara warga Muslim dan Buddha di Provinsi Pattani.

Wilayah bergolak itu adalah salah satu dari tiga provinsi selatan yang berpenduduk mayoritas Muslim, dalam cengkeraman selama satu dekade pemberontakan berdarah yang telah merenggut lebih dari 5.900 jiwa, yang mayoritas dari mereka adalah warga sipil.

Setelah ditembak, tubuh wanita itu dibakar di depan orang-orang di pasar, kata polisi kepada AFP, namun tidak ada seorang pun yang maju dengan informasi karena mereka takut pembalasan dari para penyerang - yang diduga para gerilyawan.

Senin lalu, warga Muslim tiga bersaudara ditembak mati di depan rumah mereka di provinsi tetangga Narathiwat. Seorang ibu hamil dan ayahnya juga ditembak dalam serangan itu, tetapi keduanya selamat.

"Kami akan terus membunuh Anda selama Anda masih di tanah kami," kata catatan itu, menurut petugas yang menambahkan bahwa korban pada Minggu "tidak bersenjata, target lemah dari komunitas Buddhis".

Srisompob Jitpiromsri, dari Prince of Songkla University di Pattani, mengatakan kematian ketiga anak laki-laki itu "telah memicu reaksi berantai yang akan sulit untuk dikendalikan kecuali jika pemerintah dapat mengadili pembunuh mereka".

"Gerakan pemberontak menginginkan kematian mereka sebagai kesempatan untuk membalas dendam. Perasaan seperti itu selama ini berjalan sangat tinggi," katanya.

Para pemberontak menginginkan tingkat otonomi dari Thailand, yang menganeksasi wilayah yang dulu dikuasai kesultanan Melayu Muslim itu lebih dari satu abad lalu.

Mereka menuduh pemerintah Thailand tak mengindahkan budaya Melayu lokal serta melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas.

Ada lebih dari 40 pembunuhan sejak awal tahun ini di seluruh tiga provinsi selatan itu.

Para ahli mengatakan lonjakan kematian terkait dengan mengulur-ulur perundingan perdamaian, sementara pemerintah Thailand berjuang untuk mengekang protes anti-pemerintah di Bangkok.

Pemberontak, termasuk mereka yang berasal dari bayangan Barisan Revolusi Nasional yang diyakini banyak pejuang di akar rumput, telah membuat serangkaian tuntutan agar pembicaraan damai dapat dilanjutkan.

Tetapi sejauh ini belum belum ada respon penuh dari pihak Thailand.

Puluhan anak-anak telah tewas baik oleh gerilyawan ataupun pasukan keamanan sejak awal pertumpahan darah pada tahun 2004 dan hampir 400 lainnya luka-luka.

Setelah penembakan beberapa anak laki-laki itu, Lembaga Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa ( UNICEF) mengutuk serangan terhadap anak-anak di selatan Thailand itu.

sumber : Antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement