Rabu 05 Feb 2014 10:41 WIB

Kebijakan 'Apartheid' untuk Pengungsi Rohingya

Muslim Rohingya, jadi pengungsi di negeri sendiri.
Foto: Republika/Maman Sudiaman
Muslim Rohingya, jadi pengungsi di negeri sendiri.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah pos pemeriksaan tampak dijaga oleh tiga orang polisi. Mereka terlihat bosan di tengah jalan sempit pemisah dua dunia yang sangat berbeda, ditukil dari aljazeera.

Di satu sisi di Sittwe, ibu kota Rakhine, negara bagian barat Myanmar, warga tampak menjalani kehidupan normal. Mereka bebas untuk pergi ke mana pun sekehendak hatinya. Mereka pun bisa menghadiri upacara keagamaan di kuil Buddha dengan bebas.

Di sisi lain, di balik kawat berduri, hampir 150.000 orang memadati lusinan kamp untuk pengungsi. Mereka berasal dari kelompok Rohingya, kelompok etnis Muslim yang tidak diakui, diantara 134 etnis resmi negara. PBB menganggap etnis ini sebagai salah satu minoritas Paling dianiaya di dunia.

Mereka tidak bisa meninggalkan kamp. Untuk sekadar menikah, mereka pun harus memiliki izin. Kebanyakan pengungsi menganggur dan tidak memiliki sumber penghasilan. Hidup mereka bergantung pada jatah yang diberikan oleh program pangan dunia. Untuk sekadar bertahan hidup. 

"Ini adalah apartheid dan genosida yang kasat mata, " Win Aung, seorang pemimpin terkemuka di komplek kamp Rohingya, kepada Al Jazeera.

Sebuah undang-undang yang disahkan pada tahun 1982 telah menyangkal kewarganegaraan mereka. Saat ini, orang-orang Rohingya tak memiliki negara.

Negara menganggap mereka sebagai tetangga imigran dari Bangladesh. Orang-orang ini datang seiring dengan kehadiran tentara kekaisaran Inggris di tahun 1800-an.

"Yang disebut Rohingya hanya imigran ilegal . Kami mengizinkan mereka untuk menetap di sini Karena kita adalah orang-orang yang murah hati dan kami pikir mereka akan hanya tinggal beberapa saat,"ujar  U Shwe Mg, seorang Nasionalis dari Partai Pembangunan di Rakhine.

Satu-satunya cara untuk keluar dari kamp tersebut adalah untuk menyuap polisi yang menuntut sejumlah besar uang. Sisanya, mencoba melarikan diri di kapal nelayan sederhana. Terkadang, akibatnya fatal. Sebuah kapal tenggelam di Samudra Hindia pada tanggal 3 November 2013, menewaskan Sedikitnya 70 orang.

Banyak diantaranya memang berhasil untuk pergi ke Thailand atau Malaysia. Tak jarang, mereka diperdagangkan sebagai budak oleh mafia di negara-negara tersebut. "Namun, banyak yang berpikir layak mengambil risiko," kata Aung Win .

Alasan untuk pemisahan Kedua kelompok yang bisa hidup berdamai selama berabad-abad terletak pada kerusuhan yang dipicu pada 28 Mei 2012 lalu. Kerusuhan besar itu dipicu oleh kasus dugaan pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita muda Buddha oleh pria yang disebut berasal dari Rohingya .

Enam hari kemudian, 10 Muslim bepergian di bus Apakah dipukuli sampai mati akibat kemarahan Umat Buddha. Kebencian etnis yang terpendam lama pun meledak. Ribuan rumah dibakar. Sejak saat itu, hampir 300 orang - sebagian besar Rohingya - telah tewas dalam konflik yang telah menyebar daerah-daerah lain di Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement