Jumat 23 Feb 2018 17:11 WIB

Anak-Anak Pengungsi Rohingya Rentan Terhadap Wabah Penyakit

Unicef mendesak Myanmar agar hentikan kekerasan terhadap Muslim Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh sangat rentan terhadap kekerasan dan wabah penyakit. Hal ini diungkapkan Direktur Program Darurat Unicef Manuel Fontaine pada Jumat (23/2).

Menurut Fontaine, ratusan ribu anak-anak Rohingya yang kini tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. 

 

"Sekitar 720 ribu anak-anak Rohingya pada dasarnya terjebak, dikepung oleh kekerasan dan pemindahan paksa di Myanmar dan terdampar di kamp-kamp yang padat di Bangladesh karena mereka tidak dapat kembali ke rumah," katanya, dikutip laman Anadolu Agency.

Ia mengatakan, kondisi anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh akan semakin mencemaskan seiring datangnya musim topan. Kamp pengungsi yang rapuh dan pada sangat berpotensi memunculkan virus dan sumber penyakit.

 

Baca juga, Suu Kyi: Tidak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.

 

Oleh sebab itu, Fontaine mendesak agar segera dilakukan upaya, termasuk oleh Myanmar, untuk mencegah terjadinya hal itu. Pengungsi Rohingya dan anak-anaknya harus diberikan kemudahan untuk mengakses layanan kesehatan.

Unicef pun mendesak Myanmar segera menghentikan kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Rakhine. "Mereka harus memiliki hak dasar seperti kebebasan bergerak, akses terhadap perawatan kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian," katanya.

Sejak pecahnya kekerasan pada 25 Agustus di Rakhine, Myanmar, lebih dari 750 ribu etnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Mereka meninggalkan kampungnya agar terhindar dari kebrutalan militer Myanmar. Menurut Doctors Without Borders, sedikitnya 9 ribu Rohingya tewas di Rakhine sejak 25 Agustus hingga 24 September.

PBB telah melakukan investigasi terkait kekerasan di Rakhine. Hasilnya ditemukan adanya kejadian pemerkosaan masaal, pembunuhan, serta penghilangan paksa yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar. Kendati demikian, hingga saat ini Myanmar masih menyangkal hasil laporan-laporan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement