Jumat 09 Mar 2018 21:26 WIB

PBB: Myanmar Harus Diselidiki di Pengadilan Internasional

Ada kecurigaan kuat bahwa tindakan genosida telah terjadi.

Rep: Marniati/ Red: Budi Raharjo
Dalam foto file bulan September 2017, seorang pria Muslim Rohingya menggendong anak bayinya yang tewas akibat perahu yang mereka tumpangi tenggelam, ketika menyelematkan diri dari genosida militer Myanmar.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, seorang pria Muslim Rohingya menggendong anak bayinya yang tewas akibat perahu yang mereka tumpangi tenggelam, ketika menyelematkan diri dari genosida militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kepala hak asasi manusia PBB Zeid bin Ra'ad Zeid al-Hussein mengatakan Myanmar harus diselidiki atas kejahatan terhadap Rohingya. Ia meminta kasus kekerasan terhadap Rohingya dirujuk ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

Dilansir Aljazirah, Jumat (9/3), Zeid juga mendesak Myanmar untuk mengizinkan pemantau ke Rakhine dalam menyelidiki tindakan genosida. "Jika mereka ingin membantah tuduhan pelanggaran serius terhadap Rohingya, undang kami ke Negara Bagian Rakhine," ujar Zeid dalam sebuah konferensi pers pada Jumat (9/3) di Jenewa.

Ia menambahkan, ada kecurigaan kuat bahwa tindakan genosida mungkin telah terjadi. Namun menurutnya hanya ICC yang dapat mengonfirmasi hal ini.

Komentar Zeid ini disampaikan setelah Penasihat Keamanan Nasional Myanmar Thaung Tun menyampaikan pernyataannya terkait tuduhan genosida. "Kami sering mendengar banyak tuduhan bahwa ada pembersihan etnis atau genosida di Myanmar. Dan saya telah mengatakan sebelumnya dan saya akan mengatakannya lagi - ini bukan kebijakan pemerintah, dan ini dapat kami pastikan. Meskipun ada tuduhan, kami ingin bukti yang jelas," katanya.

Sementara itu, seorang aktivis Rohingya, Ro Nay San Lwin, mengatakan sangat penting untuk mengadili pemimpin Myanmar di ICC. Hal ini sebagai langkah untuk mengakhiri genosida yang sedang berlangsung.

Menurutnya, lebih dari satu juta orang Rohingya mencari keadilan. Militer dan pemerintah Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida selama lebih dari 40 tahun. Tidak hanya melawan Rohingya, tapi juga terhadap Kachin, Karen, Shan dan etnis minoritas lainnya.

"Sebagai aktivis Rohingya, kami ingin bertemu dengan Jenderal Senior Myanmar, Aung Hlaing dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi di pengadilan di Den Haag," tambahnya.

Rohingya, yang dipandang oleh PBB dan Amerika Serikat sebagai salah satu komunitas paling teraniaya di dunia, telah menghadapi diskriminasi yang meluas dari pemerintah Myanmar. Sejak Agustus, lebih dari 650 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh setelah militer negara tersebut menindak minoritas di negara bagian Rakhine utara.

Docters Without Borders (MSF) memperkirakan 6.700 orang Rohingya tewas dalam bulan pertama tindakan keras tersebut. Menurut citra satelit baru-baru ini, lebih dari 360 desa Rohingya telah hancur sejak Agustus.

Militer Myanmar mengatakan tindakan keras tersebut diperlukan untuk membasmi gerilyawan Rohingya yang menyerang pos polisi perbatasan pada Agustus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement