Senin 16 Apr 2018 07:09 WIB

Muslim Rohingya Kerap Jadi Sasaran Kekerasan Seksual

Serangan diduga dilakukan pasukan bersenjata Myanmar dan milisi lokal.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi Muslim Rohingya Mohammad Karim menunjukkan video ponsel pembunuhan massal di Gu Dar Pyin di kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh.
Foto: AP Photo/Manish Swarup
Pengungsi Muslim Rohingya Mohammad Karim menunjukkan video ponsel pembunuhan massal di Gu Dar Pyin di kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar menjadi sasaran tindakan kekerasan seksual oleh pasukan bersenjata negara tersebut. Hal itu disampaikan Sekjen PBB, Antonio Guterres.

Laporan Guterres, yang akan dibahas Dewan Keamanan PBB pada Senin, mengatakan staf medis internasional dan tim lain di Bangladesh mendokumentasikan banyak dari pengungsi menanggung luka fisik dan psikologis dari serangan seksual brutal.

Guterres mengatakan, serangan itu diduga dilakukan pasukan bersenjata Myanmar. Kadang-kadang, mereka bertindak bersama dengan milisi lokal, dalam operasi militer yang berlangsung pada Oktober 2016 dan Agustus 2017.

"Ancaman luas dan penggunaan kekerasan seksual merupakan bagian integral dari strategi ini, melayani untuk mempermalukan, menteror dan secara kolektif menghukum komunitas Rohingya, sebagai alat yang diperhitungkan untuk memaksa mereka melarikan diri dari tanah air mereka dan mencegah mereka kembali," kata Gutierres seperti dikutip The Guardian, Ahad (15/4).

Mayoritas umat Buddha Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis. Mereka bersikeras mereka adalah para migran Bengali dari Bangladesh yang tinggal secara ilegal di negara itu. Guterres mengatakan pembersihan etnis dalam kedok operasi pembersihan dibuka di negara bagian Rakhine utara.

"Kekerasan telah dilakukan terhadap wanita, termasuk wanita hamil, yang dilihat sebagai penjaga dan penyebar identitas etnis, serta pada anak-anak muda, yang mewakili masa depan kelompok," kata Guterres.

"Ini dapat dikaitkan dengan narasi peradangan yang menuduh bahwa tingkat kesuburan tinggi di kalangan Rohingya merupakan ancaman eksistensial bagi mayoritas penduduk," ujar Guterres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement