Selasa 17 Apr 2018 02:54 WIB

PBB Pertanyakan Kepulangan Rohingya ke Myanmar

PBB menilai pemulangan warga Rohingya ini masih terlalu prematur dan berbahaya

Rep: Christiyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Pengungsi Muslim Rohingya.
Foto: AP
Pengungsi Muslim Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Bangladesh belum lama ini mempertanyakan klaim Myanmar atas pulangnya pengungsi Rohingya ke negara tersebut. Kepulangan itu dipertanyakan mengingat situasi keamanan di Myanmar masih belum kondusif.

Lebih dari 670 ribu pengungsi Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus 2017. Eksodus besar-besaran ini dipicu pembantaian, pemerkosaan, dan perusakan desa yang dihuni Rohingya oleh militer Myanmar.

Di bawah perjanjian antara Yangon dan Dhaka, para pengungsi Rohingya seharusnya mulai dipulangkan pada Januari. Namun PBB dan sejumlah lembaga hak asasi manusia menyatakan pemulangan itu masih terlalu prematur dan berbahaya.

Ahad pekan lalu, Myanmar mengklaim telah memulangkan gelombang pertama pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Akan tetapi lembaga di bawah PBB yang menangani pengungsi, UNHCR, pihaknya belum menerima konsultasi atas pulangnya para pengungsi Rohingya.

Komisioner di Pembebasan Pengungsi dan Repatriasi Bangladesh, Abul Kalam, juga mempertanyakan klaim Myanmar. "Keluarga yang kembali ke Myanmar adalah bagian dari 60 ribu pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian di wilayah perbatasan Myanmar," ujarnya kepada CNN.

"Karena keluarga tersebut tidak pernah memasuki wilayah Bangladesh, kepulangan mereka tidak bisa disebut repatriasi. Ini bukanlah gelombang kepulangan yang resmi," imbuh Abu Kalam.

Zaw Htay, juru bicara pemerintah Myanmar mengatakan klaim tersebut bukanlah propaganda. Keluarga pengungsi memilih pulang ke Myanmar atas kemauan mereka sendiri. "Kami merawat mereka," kata Zaw Htay.

PBB dan Amerika Serikat meyakini korban-korban berjatuhan dari pihak Rohingya akibat pembersihan etnis. Myanmar membantah tuduhan itu dan mengelak dengan menyebut militer hanya menargetkan 12 orang teroris yang membunuh 12 tentara pada Agustus tahun lalu.

Pekan lalu UNHCR merilis pernyataan yang menyebut kondisi di Myanmar belum kondusif bagi kepulangan kaum Rohingya. Gelombang pengungsi Muslim Rohingya masih terus terjadi. Co-founder Fortify Rights, Matthew Smith, pekan lalu mengatakan 70 orang Rohingya mengungsi dengan kapal menuju Malaysia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement