Ahad 03 Jun 2018 21:07 WIB

Duterte: Pakar HAM Pergi Saja ke Neraka!

Pakar HAM PBB membahas pelanggaran kebebasan untuk hakim dan pengacara di Filipina.

Rep: Puti Almas/ Red: Didi Purwadi
Rodrigo Duterte
Foto: AP/Bullit Marquez
Rodrigo Duterte

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mengatakan kepada seorang pakar hak asasi manusia PBB untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara itu. Pernyataan ini datang setelah pakar HAM tersebut menilai bahwa independensi peradilan di Filipina telah terancam.

Sebelumnya Hakim Agung Filipina, Maria Lourdes Sereno, dipecat dari jabatannya. Duterte menyebut bahwa ia adalah musuh akibat menentang permintaan pemerintah yang disebut oleh Maria kontroversial.

Pemecatan itu mengirim pesan mengerikan kepada hakim agung lainnya di Filipina, termasuk anggota badan peradilan. Hal ini seluruhnya dilaporkan oleh pelapor khusus PBB, Diego Garcia-Sayan, yang membahas pelanggaran terhadap kebebasan untuk hakim dan pengacara di Filipina.

''Katakan padanya untuk tidak mengganggu urusan negara saya dan dia bisa pergi ke neraka,'' ujar Duterte pada Sabtu (2/6) malam.

Sereno menjadi hakim agung pertama yang disingkirkan oleh rekan-rekannya. Ia telah memilih menentang beberapa proposal Duterte, diantaranya adalah perpanjangan masa kekuasaan militer di selatan Filipina karena kekacauan di sana.

Sejak resmi dilantik sebagai presiden pada 30 Juni 2016, Duterte menjadi presiden kontroversial yang dikenal dengan menggalakkan kampanye keras melawan narkotika. Dalam kebijakan yang ia keluarkan, polisi dan aparat keamanan negara diizinkan untuk melakukan tindakan keras terhadap orang-orang terkait kejahatan obat terlarang itu.

Hingga saat ini, ribuan orang yang terkait dengan narkotika diperkirakan tewas. Banyak pemimpin negara dan kelompok aktivis HAM yang menyebut bahwa mantan wali kota Davao itu justru telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Hal itu karena banyak diantara mereka yang kehilangan nyawa, belum terbukti secara hukum sepenuhnya bersalah.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement