Senin 25 Jun 2018 18:31 WIB

Uni Eropa Beri Sanksi 7 Pejabat Myanmar Terkait Rohingya

Tujuh pejabat Myanmar ini akan dibekukan asetnya dan dilarang masuk ke negara UE

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
  Sejumlah warga muslim Rohingya naik perahu menyeberangi sungai Naf, untuk melintasi perbatasan dari wilayah Myanmar ke Bangladesh, di kota Teknaf sebelah Selatan Bangladesh  . (Reuters)
Sejumlah warga muslim Rohingya naik perahu menyeberangi sungai Naf, untuk melintasi perbatasan dari wilayah Myanmar ke Bangladesh, di kota Teknaf sebelah Selatan Bangladesh . (Reuters)

REPUBLIKA.CO.ID, LUKSEMBURG -- Uni Eropa (UE) akan memberlakukan sanksi terhadap tujuh pejabat keamanan Myanmar pada Senin (25/6). Sanksi tersebut berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara sistemis terhadap Muslim Rohingya di negara tersebut.

Menurut pejabat dan diplomat Uni Eropa, ketujuh pejabat keamanan Myanmar tersebut akan dibekukan asetnya serta dilarang melakukan perjalanan ke negara anggota Uni Eropa. Sanksi ini pun menandai pergeseran diplomasi oleh Uni Eropa. Sebab sejak 2012, Uni Eropa menangguhkan langkah-langkah ketatnya di negara-negara Asia Tenggara guna mendukung perubahan parsialnya ke pemerintahan demokratis dalam beberapa tahun terakhir.

Selain sanksi terhadap tujuh pejabat keamanan Myanmar, Uni Eropa juga telah memperpanjang embargo senjata terhadap negara tersebut. Negara-negara anggota Uni Eropa pun dilarang menggelar pelatihan bersama atau kerja sama dengan pasukan bersenjata Myanmar.

Desember tahuh lalu, Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Myanmar. Sanksi tersebut merupakan reaksi Washington terhadap pembantaian etnis Rohingya oleh militer Myanmar. Pada Februari lalu, Kanada mengikuti langkah AS dengan turut menjatuhkan sanksi kepada Myanmar.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di negara bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu. Operasi digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.

PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement