Jumat 29 Jun 2018 00:33 WIB

PBB Desak Pengadilan Internasional Selidiki Myanmar

Yanghee yakin pengadilan bisa mengakhiri siklus kekerasan terhadap Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Bilal Ramadhan
 Muslim Rohingya menangis setelah ditangkap oleh Penjaga Perbatasan Bangladesh di perbatasan Cox Bazar, Bangladesh, (21/11).
Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain
Muslim Rohingya menangis setelah ditangkap oleh Penjaga Perbatasan Bangladesh di perbatasan Cox Bazar, Bangladesh, (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Yanghee Lee, mendesak Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) segera melakukan penyelidikan terhadap Myanmar. Penuntutan harus dilakukan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara tersebut.

Pernyataan Lee berkaitan dengan krisis Rohingya yang terjadi di Negara Bagian Rakhine. "Saya sangat percaya bahwa pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri siklus kekerasan yang dihadapi oleh rakyat Myanmar," kata Lee kepada Dewan Keamanan PBB, dikutip laman Anadolu Agency, Rabu (27/6).

Ia menyatakan terdapat bukti kredibel yang menunjukkan terjadinya pelanggaran HAM, termasuk serangan meluas dan sistematis oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya. Dari bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Saya sangat merekomendasikan orang-orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran hukum HAM internasional dan humaniter internasional diselidiki dan dituntut oleh ICC atau mekanisme yang kredibel," ujar Lee.

"Untuk mempersiapkan penyelidikan dan penuntutan yang kredibel, dan untuk akhirnya mengakhiri beberapa dekade kejahatan seperti itu, serta mengambil langkah-langkah efektif untuk membawa keadilan, saya merekomendasikan Dewan menetapkan mekanisme pertanggungjawaban di bawah naungan PBB tanpa penundaan," kata Lee menambahkan.

Dalam kesempatan tersebut, Lee juga sempat menyuarakan keprihatinan mendalam tentang ketidakmampuan Dewan Keamanan PBB dalam merujuk situasi ini ke ICC. Ia meminta Dewan Keamanan mendukung upaya penyelidikan dan penuntutan di ICC yang bertanggung jawab atas dugaan kejahatan.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di Negara Bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu. Operasi digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Namun, dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana. PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis.

PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia. Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi.

Namun, pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine. Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu.

Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement