Rabu 18 Jul 2018 16:22 WIB

Pengungsi Rohingya Minta Jaminan Status Kewarganegaraan

Utusan PBB mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh pada Juli 2018.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
 Dalam foto file bulan September 2017, sejumlah pengungsi perempuan Muslim Rohingya berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, sejumlah pengungsi perempuan Muslim Rohingya berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pengungsi Rohingya Myanmar mengatakan kepada utusan PBB bahwa mereka bersedia kembali ke Myanmar jika keselamatan terjamin dan diberi kewarganegaraan.

Dilansir Anadolu, Rabu (18/7), pernyataan itu muncul setelah kunjungan resmi utusan PBB Christine Schraner Burgener ke kamp-kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh pada 14-16 Juli lalu.

"Di Cox's Bazar, dia mengunjungi kamp-kamp pengungsi yang luas dan mendengar dari orang-orang tentang kekejaman tak terbayangkan yang dilakukan di Negara Bagian Rakhine," kata pernyataan itu.

Menurut pernyataan itu, pengungsi Rohingya berharap dapat kembali ke rumah mereka dengan jaminan keamanan dan status warga negara. Selama diskusi tentang kunjungan tersebut, Burgener juga menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan Myanmar.

Amnesty International mengatakan sejak 25 Agustus 2017, sekitar 750 ribu Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah pasukan Myanmar memulai tindakan keras terhadap komunitas Rohingya.

Menurut Doctors Without Borders setidaknya 9.400 Rohingya tewas di Negara Bagian Rakhine Myanmar dari 25 Agustus hingga 24 September 2017. Dalam laporan yang diterbitkan Desember lalu, kelompok kemanusiaan global mengatakan kematian 71,7 persen, atau 6.700 Rohingya, disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak-anak di bawah usia lima tahun.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012. PBB telah mendokumentasikan kasus pemerkosaan massal, pembunuhan termasuk bayi dan anak kecil, pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh personel keamanan. Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan  pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement