Rabu 08 Aug 2018 16:39 WIB

Bangladesh Butuh Bantuan untuk Tampung Pengungsi Rohingya

UNHCR menyerukan lebih banyak bantuan untuk Bangladesh.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox's Bazaar, Bangladesh.
Foto: Damir Sagolj/Reuters
Pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Balikhali yang disiapkan khusus untuk janda dan anak yatim, Cox's Bazaar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Kepala Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Filippo Grandi mendesak negara-negara dan pemimpin bisnis di Asia Pasifik untuk memberikan lebih banyak bantuan kepada Bangladesh. Hal itu karena Bangladesh tengah menampung ratusan ribu pengungsi Rohingya.

"Saya mendorong Anda untuk mempertimbangkan dukungan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah Anda dalam solidaritas dengan Bangladesh hingga solusi ditemukan bagi para pengungsi (Rohingya)," kata Grandi dalam pidatonya saat menghadiri Konferensi Tingkat Menteri Ketujuh Bali Process di Bali, dikutip laman UN News pada Selasa (7/8).

photo
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)

Ia bertanya dapatkah bantuan negara-negara di Asia Pasifik, misalnya, menghadirkan rumah sakit di Bangladesh. Rumah sakit itu nantinya tidak hanya akan meningkatkan perawatan kesehatan para pengungsi Rohingya, tapi juga penduduk setempat.

"Dapatkah kita membayangkan langkah-langkah pembangunan, perdagangan, dan migrasi, untuk membantu rakyat dan pemerintah Bangladesh memikul tanggung jawab menampung sekitar 900 ribu pengungsi," ujarnya.

"Seperti memperluas kuota pekerja pendatang untuk Bangladesh yang akan meningkatkan pengiriman uang, atau mengurangi tarif ekspor garmen dari Bangladesh?" kata Grandi.

Menurut Grandi, hingga kini belum ada perkembangan signifikan dalam penyelesaian krisis pengungsi Rohingya. Ia menegaskan, solusi nyata dari masalah tersebut berada di tangan Myanmar. Ia meminta dukungan regional untuk mengatasi akar penyebab pemindahan di negara bagian Rakhine.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali akan mengunjungi Negara Bagian Rakhine di Myanmar pada Kamis (9/8). Ia akan didampingi anggota the Joint Working Group (JWG) dan Wakil Menteri Luar Negeri Md Shahidul Haque.

Kunjungan mereka ke Rakhine adalah untuk memeriksa apakah Pemerintah Myanmar telah melakukan upaya-upaya untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya. Misalnya, apakah lingkungan telah kondusif, rumah-rumah telah dibangun, kepemilikan tanah dikembalikan kepada etnis Rohingya, dan pemenuhan hak-hak lainnya, termasuk perihal pekerjaan.

Gelombang pengungsi Rohingya mulai memasuki Bangladesh pada Agustus 2017, seusai militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine untuk memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Walaupun memburu gerilyawan, tentara Myanmar turut menyerang dan membunuh warga sipil di sana.

PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan tersebut belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement