Jumat 17 Aug 2018 00:03 WIB

Cina Tolak Teguran Duterte soal Laut Cina Selatan

Cina mengatakan Kepulauan Spratly adalah wilayahnya.

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Kapal patroli Cina berpatroli di Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/Erik de Castro
Kapal patroli Cina berpatroli di Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina menolak seruan Presiden Filipina Rodrigo Duterte soal tindakannya di Laut Cina Selatan, Kamis (16/8). Cina mengaku memiliki hak untuk bereaksi terhadap kapal asing atau pesawat yang mendekati pulau-pulaunya.

Duterte mengatakan Cina tidak memiliki hak mengusir pesawat dan kapal asing yang lewat di pulau buatannya di perairan yang disengketakan itu. Duterte berharap Cina melunakkan sikapnya dan berhenti membatasi pergerakan.

Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan Kepulauan Spratly adalah wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari Cina. Cina menghormati hak kebebasan navigasi dan penerbangan yang dinikmati semua negara di Laut Cina Selatan di bawah hukum internasional.

"Tetapi Cina memiliki hak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menanggapi pesawat dan kapal asing yang sengaja mendekati atau membuat serangan ke udara dan perairan dekat pulau-pulau yang relevan di Cina, dan tindakan provokatif yang mengancam keamanan personil Cina yang ditempatkan di sana," kata Kemenlu Cina.

Cina, Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei saling mengklaim kepulauan Spratly, di mana Cina dengan cepat mengubah terumbu menjadi pulau buatan yang tampaknya merupakan instalasi militer. Personel militer Cina secara rutin memerintahkan kapal-kapal asing untuk pergi.

Duterte memiliki perjanjian kebijakan dengan Beijing. Ia berharap memperoleh dana hingga miliaran dolar dalam bentuk hibah, pinjaman dan investasi. Duterte menolak kritik bahwa ia menyetujui tekanan Cina atau menyerahkan kedaulatan Filipina.

Namun, alih-alih menyalahkan Cina karena membangun dan militerisasi pulau-pulau di perairan yang disengketakan, Duterte justru menyalahkan Amerika Serikat. Menurutnya, AS bersalah karena tidak memblokir pembangunan saat pertama kali proses dimulai.

Cina marah oleh AS karena  mengirim kapal militer dan pesawat dekat dengan pulau-pulau yang diduduki Cina di Laut Cina Selatan. AS menyebut itu kebebasan navigasi. Namun, menurut Cina, operasi itu sangat provokatif dan berpotensi berbahaya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement