Sabtu 25 Aug 2018 16:56 WIB

Pengungsi Rohingya Khawatirkan Masa Depan Anaknya

Anak-anak Rohingya dikhawatirkan tidak bisa mendapatkan akses pendidikan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Dwi Murdaningsih
Muslim Rohingya merayakan Idul Adha di pengungsian di Kutupalong, Bangladesh, Rabu (22/8).
Foto: Reuters
Muslim Rohingya merayakan Idul Adha di pengungsian di Kutupalong, Bangladesh, Rabu (22/8).

REPUBLIKA.CO.ID, BANGLADESH -- Pengungsi Rohingnya mengkhawatirkan masa depan anaknya kelak. Rashida Begum, salah seorang pengungsi, dia memiliki seorang putra berusia delapan bulan yang dilahirkan di kamp pengungsian Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh.

"Kami takut. Tidak ada pendidikan di sini dan tidak ada harapan pendidikan di sana juga. Saya tidak melihat masa depan di sini dan juga tidak ada masa depan di sana,” ujarnya.

Begum meninggalkan rumahnya di Myanmar dan melarikan diri ke Bangladesh. Ia mengungsi setelah tindakan keras militer Myanmar, yang disebut PBB sebagai contoh buku teks tentang pembersihan etnis.

Anak Rohingya Terancam Jadi Generasi yang Hilang

Saat ini, Begum tinggal bersama keluarganya di kamps pengungsian Kutupalong, Cox's Bazar, yang disebut pengungsian terbesar di dunia. Sekitar 700 ribu Muslim Rohingya dari Myanmar telah mengungsi di kamp itu tepat satu tahun lalu pada Sabtu (25/8), sejak 25 Agustus 2017.

Pihak Myanmar mengatakan, siap untuk mengambil kembali Rohingya dan telah membangun pusat-pusat transit untuk menerima mereka kembali. Akan tetapi, kurangnya kemajuan dalam menangani krisis sejak setahun lalu diklaim karena arus pengungsi yang terus-menerus terjadi. Namun, Begum khawatir jika kembali ke Myanmar maka ia dan pengungsi lainnya akan dibunuh.

“Kami akan pergi ke sana untuk mati. Jika pemerintah (Myanmar) menerima kami sebagai warga Rohingya maka kami akan pergi, kalau tidak kami tidak mau," ungkapnya.

Sebagain besar masyarakat di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menyebut Rohingya sebagai "Bengali". Sebagian besar dalam minoritas Muslim menganggap sebutan itu sebagai istilah menghina yakni penghalang dari Bangladesh.

Eksodus Rohingya mengancam transisi Myanmar menuju demokrasi. Sekaligus menghancurkan citra pemimpinnya, penerima Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, di luar negeri. Pemerintah Myanmar telah menolak sebagian besar tuduhan kekejaman yang dibuat pengungsi terhadap pasukan keamanannya.

Myanmar mengatakan militernya melancarkan operasi kontra-pemberontakan yang sah dalam menanggapi kampanye kekerasan dari minoritas Rohingya, yang kebanyakan ditolak kewarganegaraannya di negara Asia Tenggara itu.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement