Selasa 02 Oct 2018 17:00 WIB

ASEAN Desak Myanmar Beri Mandat Penyelidikan Rohingya

AS menyebut kekerasan terhadap etnis Rohingya dilakukan secara terkoordinasi.

Rep: Kamran Dikarma/Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Para menteri luar negeri anggota ASEAN mendesak Myanmar memberi mandat penuh pada komisi penyelidikan independen untuk menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat kekerasan terhadap etnis Rohingya. Menlu ASEAN menilai, krisis Rohingya merupakan bencana kemanusiaan akibat kejahatan manusia.

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan, para menteri luar negeri anggota ASEAN telah bertemu di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS), pekan lalu. Pertemuan itu secara khusus diselenggarakan guna membahas krisis Rohingya.

“Kami menyatakan keprihatinan kami atas dugaan tindakan kekerasan. Ini adalah bencana kemanusiaan buatan manusia dan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di hari dan masa ini,” kata Balakrishnan kepada parlemen Singapura pada Selasa (2/10).

Baca juga, Militer Myanmar Sebut tak Ada Rohingya yang Terbunuh.

“Para menteri luar negeri (ASEAN) mendesak Pemerintah Myanmar bahwa komisi penyelidikan independen harus diberi mandat penuh untuk menyelidiki dan menahan semua pihak yang bertanggung jawab penuh," ujar Balakrishnan menambahkan.

Ia menilai, jika krisis di negara bagian Rakhine, Myanmar, terus dibiarkan, hal itu dapat memicu penyebaran terorisme yang akan mengancam Asia Tenggara dan sekitarnya. Pemerintah Myanmar perlu mengambil langkah yang tepat. 

“Mereka (Pemerintah Myanmar) memang perlu melakukan hal yang benar untuk semua korban yang rentan, tak berdaya, dan tidak bersalah,” ucap Balakrishnan.

Pada Juli, Myanmar membentuk komisi penyelidikan untuk mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Rakhine. Komisi itu beranggotakan empat orang, yakni dua ahli dari Myanmar dan dua lainnya berasal dari Jepang dan Filipina. Namun komisi tersebut tampaknya tak dapat bekerja optimal akibat keterbatasan akses ke Rakhine.

Pekan lalu Departemen Luar Negeri AS telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Laporan tersebut disusun berdasarkan hasil wawancara lebih dari 1.000 etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh. 

Dalam laporan itu, AS menyebut kekerasan terhadap etnis Rohingya dilakukan secara terkoordinasi dan terencana. Selain itu, laporan juga menyatakan kekerasan terhadap Rohingya sengaja dilakukan untuk mengusir mereka dari Myanmar.

"Survei ini mengungkapkan bahwa kekerasan di Rakhine Utara sangat ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir penduduk Rohingya," kata laporan tersebut.

Walaupun tak secara eksplisit menyatakan apakah yang dilakukan militer Myanmar merupakan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, tapi laporan itu memperkuat laporan-laporan tentang krisis Rohingya. 

Pada akhir Agustus, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB juga telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine pada akhir Agustus lalu. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida.

Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement