Rabu 10 Oct 2018 12:56 WIB

Perjuangan Anak Perempuan Rohingya Demi Bisa Sekolah

Akter harus menyamarkan identitasnya sebagai Rohingya untuk bisa sekolah.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Para perempuan pengungsi Muslim Rohingya.
Foto: Reuters
Para perempuan pengungsi Muslim Rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID, KUTUPALONG -- Tidak seperti kebanyakan anak perempuan Rohingya lainnya, Rahima Akter memiliki cita-cita tinggi untuk kehidupannya. Perempuan berusia 19 tahun itu ingin menjadi wanita Rohingya paling terdidik di dunia.

Biasanya perempuan Rohingya seumuran Akter, sudah menikah dan memiliki anak. Namun, Akter memiliki pandangan berbeda.

Akter lahir di kamp pengungsi di Bangladesh selatan. Ia telah menjalani seluruh hidupnya di kamp, ​​sebuah gubuk bambu dan pondok terpal yang tersebar di atas perbukitan yang dulunya adalah hutan lindung.

Orangtuanya berada di antara 250 ribu Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kerja paksa, penganiayaan agama dan serangan kekerasan dari kelompok Buddha di Myanmar pada awal 1990-an. Menurut Akter,  pendidikan adalah kunci agar ia mampu keluar dari kamp.

"Jika kita  berpendidikan maka kita akan dapat menjalani hidup kita sebagai sebuah kehidupan," katanya.

Akter telah menambah penghasilan keluarganya dengan bekerja sebagai penerjemah bagi kelompok bantuan dan jurnalis saat pengungsi baru Rohingya membanjiri kamp itu sejak Agustus 2017. Mereka melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di negara bagian Rakhine Myanmar.

Sebuah misi pencarian fakta PBB melaporkan bulan lalu bahwa setidaknya 10 ribu  Rohingya diyakini tewas dalam kekerasan itu. PBB juga telah meminta petinggi militer Myanmar untuk dituntut karena genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kendati pengungsi Rohingya mulai merasa aman di Bangladesh, namun akses mereka ke pendidikan masih belum maksimal. Akter mengatakan ia termasuk di antara  beberapa gadis pengungsi Rohingya yang telah menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA) di Bangladesh. Prestasi itu hanya bisa ia capai dengan menyelinap melewati pos-pos pemeriksaan kamp dan menyuap pejabat sekolah negeri Bangladesh untuk mengikuti ujian.

Menurut UNICEF, lebih dari 1.200 sekolah mengajarkan bahasa Inggris, matematika, Bahasa Burma, sains, dan seni kepada sekitar 140 ribu anak-anak berusia antara 6 tahun dan 14 tahun. Jumlah itu lebih dari seperempat di mana setengah juta anak-anak pengungsi tinggal di kamp tersebut.

Tetapi sekolah hanya sampai kelas 5. Akter dan pengungsi lainnya harus secara rahasia mendaftar di sekolah-sekolah di Cox's Bazar atau kota-kota lain untuk menyelesaikan studi mereka.

Karena terbatasnya kesempatan pendidikan bagi mereka, UNICEF menyebut anak-anak pengungsi sebagai “generasi yang hilang.”

"Komunitas internasional telah mengecewakan anak-anak ini, ” kata juru bicara UNICEF, Sakil Faizullah. Ia menambahkan bahwa UNICEF berencana untuk mulai menawarkan kelas dasar bagi para  pengungsi yang lebih tua dengan asumsi mereka akan menerima pendidikan formal ketika kembali ke Myanmar.

Namun dengan meningkatnya kampanye anti-Rohingya di Myanmar, Akter mengatakan kembalinya keluarganya ke Myanmar tidak mungkin dilakukan. Untuk pergi ke sekolah, Akter menyamarkan identitas Rohingya dengan hanya berbicara dalam bahasa Bengali. Ia juga berpakaian seperti gadis Bangladesh.

"Tapi itu pertempuran yang harus dilawan dan paling menantang," katanya.

Sebagian besar gadis Rohingya telah menikah pada usia 16 tahun, dan paling cepat di usia 14 tahun. Dia harus menolak permintaan ayahnya yang meminta untuk segera menikah.

Akter menangis berhari-hari. Ia memohon kepada orang tuanya agar terus diizinkan bersekolah.

Ibunya, Minara Begum, seorang pengungsi yang melarikan diri dari Myanmar sejak kecil dan tidak pernah bersekolah. Ibu Akter harus berupaya keras untuk meyakinkan suaminya agar membiarkan anak perempuan pertama mereka bersekolah. Ia  juga harus berjuang melawan teguran dari para tetua di komunitasnya yang memperingatkan bahwa membiarkan anak perempuan mengenal dunia adalah dosa.

"Aku bilang pada mereka 'biarkan Allah menghukumku kalau begitu. Bagaimana dengan hidup kita sebagai pengungsi yang sia-sia karena kita buta huruf? Jika saya dapat membantu anak-anak saya mendapatkan masa depan yang lebih baik dengan pendidikan, maka itulah yang akan saya lakukan," kata Begum.

Begum sekarang mengirim tiga dari empat putrinya ke sekolah. Ia berharap juga dapat mendidik putri bungsu dan putra satu-satunya yang ia miliki. Akter dan dua saudara perempuannya tinggal di dekat sekolah mereka di Cox's Bazar, sekitar dua jam perjalanan dari kamp. Saudara-saudara perempuan Akter dapat mendaftar di sekolah Bangladesh setelah dia mendapatkan tempat tinggal di wilayah itu.

Begum mengatakan keluarga telah mengurangi biaya kehidupan sehari-hari agar anak-anaknya bisa sekolah. Ia berharap anak-anaknya dapat memiliki masa depan yang lebih baik dan tidak terikat oleh stigma sebagai pengungsi.

“Kami adalah Rohingya. Tidak ada tanah yang kami miliki. Kami tidak punya masa depan. Kami berada dalam situasi yang sama seperti ayam dalam sangkar. Kami bahkan tidak dapat mengklaim kepemilikan atas buah dari pohon yang kami tanam,' kata Begum.

Pengabdian Begum untuk pendidikan anak-anaknya sepertinya sudah membuahkan hasil. Akter sekarang menghasilkan lebih banyak uang daripada pendapatan keluarganya yang lain.

Saat ini Akter sedang sibuk mempersiapkan diri untuk mendaftar ke universitas. Ia juga menghabiskan waktu mengunjungi rumah ke rumah di kamp yang luas, untuk mendokumentasikan identitas orang-orang yang melarikan diri dari Myanmar tahun lalu.

Dia berharap dapat mempublikasikan penelitiannya saat kuliah. Akter berencana  mempelajari hak asasi manusia. "Mengapa orang harus menjalani hidup mereka dalam situasi seperti ini? Suatu hari mungkin saya akan dapat meningkatkan suara saya tentang hak asasi manusia untuk Rohingya," katanya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement